Bisnis.com, JAKARTA - IHSG sempat melemah tajam pada perdagangan hari ini 1 persen lebih ke kisaran 6.700-an. Pelemahan IHSG terjadi seiring dengan kejatuhan Bursa Asia.
Pada perdagangan Kamis (8/12/2022) pukul 13.40 WIB, IHSG turun 0,58 persen atau 39,52 poin menjadi 6.779,23. Sepanjang hari ini, indeks bergerak di rentang 6.683,63-6.821,05.
Terpantau 153 saham naik, 406 saham melemah, dan 125 saham stagnan. Di jajaran big caps, saham BMRI turun 1,93 persen, dan GOTO anjlok 6,54 persen ke Rp100.
Di Bursa Asia, Nikkei 225 turun 0,4 persen, Topix Tokyo turun 0,35 persen, CSI 300 Index turun 0,05 persen. Hanya Hang Seng yang menguat 3,01 persen.
Ternyata pasar saham gelobal terguncang pelemahan Wall Street. Hal itu terjadi setelah komentar suram dari para eksekutif puncak di Goldman Sachs Group Inc, JPMorgan Chase & Co dan Bank of America Corp pada Selasa (6/12/2022) bahwa resesi ringan hingga lebih parah kemungkinan besar berada di depan.
Kekhawatiran bahwa bank sentral AS atau The Fed mungkin mempertahankan siklus kenaikan suku bunga yang lebih lama telah meningkat baru-baru ini setelah laporan pekerjaan dan sektor jasa-jasa yang kuat.
Baca Juga
Lebih banyak data ekonomi, termasuk klaim pengangguran mingguan, indeks harga produsen dan survei sentimen konsumen Universitas Michigan minggu ini, akan berada dalam daftar pantauan untuk petunjuk tentang apa yang diharapkan dari The Fed pada rapat 14 Desember 2022.
"Rasanya kita berada dalam periode yang sangat tidak pasti, di mana investor mencoba untuk memastikan apa yang lebih penting ketika pembuat kebijakan memperlambat suku bunga tetapi data tidak mendukung," kata Craig Erlam, analis pasar senior di OANDA, mengutip Antara.
Indeks volatilitas CBOE, juga dikenal sebagai pengukur ketakutan Wall Street, ditutup pada level 22,68 semalam, penutupan tertinggi sejak 18 November.
Pelaku pasar uang memperkirakan peluang 91 persen bahwa Fed akan menaikkan suku bunga acuan utamanya sebesar 50 basis poin pada Desember menjadi 4,25 persen-4,50 persen, dengan suku bunga memuncak pada Mei 2023 sebesar 4,93 persen.
Kekhawatiran tentang kenaikan tajam dalam biaya pinjaman telah mendorong dolar, tetapi merusak permintaan untuk aset-aset berisiko seperti ekuitas tahun ini.