Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan memberikan sentimen positif bagi saham sektor perbankan.
Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuan untuk keempat Kalinya secara berturut-turut. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 16—17 November 2022 memutuskan mengerek BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 5,25 persen.
Financial Expert Ajaib Sekuritas Ratih Mustikoningsih berpendapat kebijakan BI tersebut dapat menjadi momentum positif bagi sektor perbankan. Hal ini tecermin dari penyaluran kredit yang masih tumbuh 11,95 persen year-on-year (yoy) pada Oktober 2022 di tengah kenaikan suku bunga.
“Kenaikan juga lebih tinggi daripada September 2022 sebesar 11 persen yoy,” kata Ratih dalam risetnya, Kamis (17/11/2022).
Dia mengatakan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) menjadi saham bank yang menarik di tengah tren suku bunga ini. Berdasarkan kinerja per September 2022, BBCA memiliki jumlah current account saving account (CASA) 81 persen dari total dana pihak ketiga (DPK).
“Perolehan tersebut membuat BBCA dapat meminimalisir cost of fund. Bersamaan dengan hal itu net interest margin [NIM] di tengah kenaikan suku bunga bisa terakselerasi, serta loan to deposit ratio [LDR] yang saat ini berada di level 63 persen juga berpotensi mengalami peningkatan,” paparnya.
Baca Juga
Respons positif sektor perbankan terlihat dari menguatnya indeks finansial pada penutupan perdagangan hari ini. Indeks itu menguat 1,03 persen, terutama didorong oleh menguatnya saham-saham berkapitalisasi besar seperti BBCA sebesar 1,45 persen ke harga Rp8.725 per saham dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) sebesar 3,32 persen.
Hal kontras justru terjadi di sektor properti. Ratih mengatakan kenaikan suku bunga berpotensi menurunkan permintaan kredit properti. Hal ini sejalan kenaikan suku bunga yang akan mengerek tingkat bunga kredit pemilikan rumah (KPR).
Dia mengatakan dilema yang sama terjadi di Amerika Serikat di mana suku bunga KPR menurut data Mortgage Bankers Association (MBA) pada November sempat menyentuh 7,14 persen dan menjadi level tertinggi sejak 2001, sejalan dengan kenaikan suku bunga The Fed.
Meski demikian, Ratih mengatakan kenaikan suku bunga BI merupakan kebijakan yang perlu ditempuh, salah satunya untuk menahan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang cukup dalam karena kebijakan agresif The Fed.
Meski inflasi Amerika Serikat pada Oktober lalu sudah mereda di level 7,7 persen dan lebih rendah dari perkiraan konsensus ataupun periode sebelumnya di level 8,2 persen, tetapi angka tersebut masih jauh dari target inflasi sebesar 2 persen. Oleh karena itu, The Fed diproyeksikan masih menaikan suku bunga pada FOMC pada Desember 2022.