Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan rupiah berpotensi masih terus melemah menuju rekor Rp15.500 per dolar AS. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut membawa rupiah ke Rp16.000 per dolar AS apabila Bank Indonesia tak segera bertindak.
Pada penutupan perdagangan Selasa (18/10/2022), ditutup menguat 24 poin atau 0,16 persen ke Rp15.463 per dolar AS. Namun, jika menilik sepanjang 2022, rupiah mencatatkan pelemahan hingga 8,66 persen.
Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan, penyebab pelemahan rupiah makin parah belakangan ini adalah kekhawatiran bahwa selisih bunga Bank Indonesia (7DRRR) dengan the Fed (FFR) akan semakin menipis.
Baca Juga
“Karena Fed masih akan menaikkan suku bunga 75 bps pada November dan Desember, sedangkan tidak ada kepastian BI akan menaikkan suku bunga 50-75 bps per bulan di masing-masing bulan Oktober-Desember,” paparnya kepada Bisnis, Selasa (18/10/2022).
Saat ini, selisih suku bunga kebijakan BI dan The Fed masing-masing adalah 4,25 persen dan 3,25 persen atau selisih 100 bps, padahal, di awal tahun selisih ini adalah 3,5 persen dan 0,25 persen atau mencapai 325 bps.
Mengutip Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,22 persen atau 34,5 poin ke Rp15.498 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS kembali menguat 0,28 persen ke posisi 112,44.
Sejalan dengan rupiah, yuan China terpukul paling dalam melemah 0,30 persen, disusu baht Thailand melemah 0,28 persen, won Korea Selatan melemah 0,27 persen dan peso Filipina melemah 0,27 persen.
Berdasarkan catatan Bisnis, nilai tukar rupiah ditutup menguat 24 poin atau 0,16 persen ke level Rp15.463 per dolar AS pada perdagangan Selasa (18/10/2022). Adapun, sepanjang 2022 tingkat depresiasi rupiah tercatat mencapai 8,66 persen.
"Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini terutama disebabkan oleh penguatan dolar AS," ujar Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam acara SOE International Conference, Selasa (18/10/2022).
Pertama, meski perekonomian AS diperkirakan mengalami resesi, namun perekonomian di negara itu masih relatif kuat. Penguatan dolar AS bahkan berimplikasi pada pelemahan euro dan poundsterling.
Kedua, AS memulai kenaikan suku bunga jauh lebih awal dibandingkan dengan negara lain. Hal ini mendorong masuknya aliran modal ke US Treasury 10 tahun, yang merupakan salah satu aset safe haven saat ini.
“Jadi dengan situasi seperti ini, saya tidak akan terkejut bahwa dolar AS yang kuat akan terus berlanjut,” katanya.