Bisnis.com, JAKARTA - Usai badai pandemi covid-19, OJK memperingatkan pasar keuangan global dihadapkan pada tantangan baru berupa sentimen perang Rusia - Ukraina.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara menjelaskan setelah melewati fase pandemi pada periode 2020 - 2021, pasar keuangan global dihadapkan pada tantangan baru berupa sentimen perang Rusia - Ukraina.
"Ini merupakan tahapan baru dari tekanan terhadap pasar finansial dan ekonomi global," jelasnya dalam sambutan pada Acara Bisnis Indonesia Financial Awards (BIFA) 2022, Kamis (12/10/2022).
Tekanan ini telah terlihat dari kondisi di pasar keuangan AS. Masalah inflasi dan kenaikan harga komoditas serta perang Rusia Ukraina menyebabkan indeks S&P 500 AS terkoreksi lebih dari 22 persen sepanjang tahun ini.
Kondisi serupa terjadi pada wilayah Asia, dimana indeks Korea Selatan turun lebih dari 23 persen ytd. Kemudian, Malaysia turun lebih dari 9 persen, dan Filipina terkoreksi lebih dari 12 persen ytd.
Di sisi lain, Mirza mengatakan kondisi di pasar modal indonesia terbilang cukup resilien. Hal tersebut terlihat dari kinerja positif Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang masih membukukan kinerja positif sepanjang tahun berjalan.
Baca Juga
Meski demikian, Mirza mengingatkan seluruh pelaku dan pemangku kepentingan pasar modal Indonesia untuk tidak berpuas diri. Pasalnya, masih cukup banyak sentimen negatif yang membayangi kondisi pasar keuangan dunia.
Ia menjelaskan konflik antara Rusia dan Ukraina bukan hanya perang antara kedua negara. Ukraina akan didukung oleh negara-negara barat lainnya sehingga guncangan global tidak akan terhindarkan.
Selain itu, kenaikan suku bunga global juga masih akan terjadi ke depannya. Kenaikan suku bunga dari The Fed terutama akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas sektor finansial.
"Suku bunga The Fed telah naik dari 0,25 persen hingga ke 3,25 persen. Kemungkinan besar ini menuju 4,25 persen - 4,50 persen, jadi masih ada potensi 100 - 125 basis poin yang harus kita hadapi," katanya.
Ia melanjutkan kenaikan suku bunga AS akan memperkuat nilai tukar dolar AS terhadap mata uang global. Sehingga, bank sentral di dunia, termasuk Indonesia juga harus melakukan penyesuaian.