Bisnis.com, JAKARTA – Emiten farmasi dan jamu, PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk. (SIDO) menyusun rencana guna meningkatkan pertumbuhan laba dengan menggenjot pendapatan dan efisiensi Cost of Goods Sold (COGS) atau Harga Pokok Penjualan (HPP).
Direktur Keuangan Sido Muncul Leonard mengatakan perseroan akan mendorong persediaan barang terutama di level grosir dan retailer. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan wholesaler dan retailer dengan target 140 wholesaler dan retailer.
“Juga make sure barang kita ada di semua level distribusi channel,” ujar Leonard dalam Public Expose 2022 pada Jumat (16/9/2022).
Lebih lanjut, Leonard mengatakan manajemen melihat pentingnya akan pertumbuhan pada jual-beli online. Leonard menyebut penjualan secara daring memberikan manfaat yang lebih besar disamping tingginya profitabilitas.
SIDO juga berencana untuk meluncurkan produk baru di bulan September ini. Produk tersebut sampai saat ini masih dalam tahap pipelining dan diharapkan dapat berkontribusi pada kuartal IV/2022.
“Kelima kita juga mulai actively yang spending di digital marketing di produk-produk tertentu,” ujar Leonard.
Sementara untuk COGS, saat ini SIDO tengah mencari pemasok yang biayanya lebih murah guna menekan biaya pengeluaran.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2022, kinerja penjualan SIDO tersebut turun 2,58 persen menjadi Rp1,61 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp1,65 triliun.
Turunnya penjualan SIDO berimbas pada laba bersih. Belum lagi, pembengkakan beban pokok penjualan turun menggerus bottom line. Laba bersih SIDO tercatat turun 11,24 persen secara tahunan menjadi Rp445,59 miliar dibandingkan dengan Rp502 miliar di periode yang sama tahun lalu.
Presiden Direktur Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul David Hidayat menjelaskan pendapatan SIDO semester I/2022 memang mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan periode yang sama 2021.
Pada 2021, lonjakan permintaan lanjutnya, benar-benar luar biasa, tidak bisa dibandingkan dengan kondisi penjualan normal. Alasannya, kondisi pandemi saat itu benar-benar membuat masyarakat panik dan membeli produk-produk kesehatan.
"Sementara ketersediaan bahan baku saat itu juga terbatas, khususnya bahan impor dari negara pemasok yang lockdown. Meskipun demikian, penurunan penjualan dibandingkan dengan 2021 hanya 2,5 persen," jelasnya saat dihubungi Bisnis, Senin (15/8/2022).