Bisnis.com, JAKARTA – Performa reksa dana saham terus mencatatkan pertumbuhan positif memasuki September 2022. Meski demikian, potensi kenaikan inflasi, perlambatan ekonomi global, dan kenaikan suku bunga The Fed membayangi kinerja instrumen ini ke depannya.
Laporan dari Infovesta Utama pada Senin (5/9/2022) menyebutkan, kinerja reksa dana saham selama periode 26 Agustus-2 September terpantau naik 0,54 persen, sementara itu reksa dana campuran juga terpantau menguat 0,45 persen. Kenaikan tersebut terjadi seiring performa positif Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat sebesar 0,59 persen di level 7.177. Penguatan IHSG ditopang oleh naiknya harga saham pada sektor energi sejalan dengan kenaikan harga batu bara. Selain itu, rilis data beberapa emiten pada kuartal II/2022 juga tercatat memberikan kinerja cukup baik.
“Kenaikan pasar saham juga didukung rilis data inflasi yang mengalami penurunan sebesar 4,69 persen pada Agustus dibandingkan pada bulan Juli sebesar 4,94 persen di bawah konsensus pasar,” jelasnya.
Dengan kondisi pasar saat ini, kinerja IHSG telah mengalami pertumbuhan sebesar 9,05 persen secara year-to-date (ytd) sementara reksa dana saham membukukan return 2,61 persen ytd. Kenaikan reksa dana saham dan IHSG terutama disumbangkan oleh sektor energi, seiring dengan kelanjutan perang antara Rusia dan Ukraina yang memicu kenaikan harga beberapa komoditas, terutama energi.
Meski demikian, ke depannya investor perlu mencermati data kenaikan inflasi inti. Pada Agustus lalu, inflasi inti naik ke level 3,04 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini seiring dengan kenaikan harga pada sektor jasa akibat dari meningkatnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, inflasi inti telah melewati target dari Bank Indonesia sebesar 3 persen.
Baca Juga
“Seiring dengan naiknya tingkat inflasi inti kekhawatiran pasar juga meningkat, dimana jika BI menaikan tingkat suku bunganya lebih agresif akan menjadi sentimen negatif bagi pasar,” jelasnya.
Sementara dari sisi global, kenaikan suku bunga The Fed, efek lockdown di China, dan berlanjutnya perlambatan ekonomi global juga dapat menjadi perhatian investor. Pada pekan lalu, beberapa negara melaporkan rilis data PMI Manufaktur yang mengalami perlambatan ke level terendah sejak awal pandemi.
Pada Jumat malam pekan lalu, rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat menunjukan perlambatan seiring dengan meningkatnya angka pengangguran yang naik dari level 3,5 persen ke level 3,7 persen.