Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga BBM Naik dan Inflasi Tinggi, IHSG Tetap Juara Karena Hal Ini

IHSG tetap tahan banting dibandingkan dengan indeks saham negara lain sekalipun dibayangi sentimen resesi global, perang Rusia-Ukraina, dan kenaikan harga BBM.
Karyawan melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (9/8/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan melintasi papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (9/8/2022). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pasar modal Indonesia penuh tekanan, tetapi kondisi makro ekonomi nasional yang positif menjadi penopang pergerakan indeks lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

Financial Educator Manager Sucor Sekuritas Hendry Wijaya menjelaskan inflasi Indonesia saat ini di level 4,69 persen dengan inflasi inti 3,04 persen.

Di sisi lain, inflasi inti berpoteni terkerek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang resmi dinaikkan pemerintah pada Sabtu (3/9/2022) lalu. Pihaknya, memperkirakan kemungkinan inflasi di tahun 2022 dapat naik dalam kisaran 5-7 persen.

Dengan demikian menurutnya suku bunga acuan berpotensi naik hingga 100 basis poin (bps) atau 1 persen dari 3,5 persen menjadi 4,5 persen tahun ini.

Adapun, saat ini baru di level 3,75 persen atau sudah naik 25 bps beberapa waktu lalu. Hal itu berimbas pada Indonesia government bond yield yang menguat.

“Kenaikan bunga akan direspon kenaikan yield obligasi, jika obligasi naik, bond spread yield kita di AS dan Indonesia akan melebar. Maka akan mengundang investor asing masuk ke Indonesia, capital inflow. Dan rupiah mestinya lebih stabil,” ujarnya dalam diskusi Investment Talk yang diselenggarakan oleh D'ORIGIN Financial & Business Advisory dan IGICO Advisory, dikutip Senin (45/9/2022).

Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2022 naik 5,44 persen. Dia pun membandingkan kenaikan itu dengan negara lain, seperti Amerika Serikat (AS) yang terkoreksi 0,6 persen, Uni Eropa hanya naik 0,6 persen, China naik 0,4 persen, Jepang naik 2,2 persen, Singapura terkoreksi -0,2 persen, dan Brasil naik 1,2 persen.

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup kuat untuk dapat meredam dampak kenaikan dari suku bunga. Di sisi lain neraca perdagangan nasional pun dalam kurun 29 bulan beruntun selalu surplus semenjak harga komoditas andalan Indonesia kembali melesat.

Hal ini dinilai bisa menopang ekonomi Indonesia karena komoditas yang diekspor dari harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas yang diimpor. Sehingga term of trade menguntungkan Indonesia.

Seperti komoditas yang diimpor adalah crude oil dan brent yang masing-masing kenaikan harganya sekitar 25,94 persen serta 28,69 persen. Sementara komoditas ekspor andalan Indonesia seperti natural gas dengan kenaikan harga 88,57 persen dan batu bara 145 persen.

Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia surplus lantaran terdongkrak neraca perdagangan. Maka rupiah lebih stabil terhadap kenaikan suku bunga The Fed.

“Rupiah itu bagus banget kondisinya dan ketika rupiah stabil capital inflow asing akan banyak masuk pasar modal Indonesia. Karena dia akan merasa lebih aman. Dia investasi dalam bentuk rupiah sehingga rupiah mestinya terjaga terhadap dolar. Ini akan membuat aset dia lebih aman,” ujar Hendry.

Oleh karena itu menurutnya tak heran jika foreign net buy sepekan terakhir bertambah Rp1,5  triliun. Adapun periode Januari-awal September 2022, dana saing masuk sudah mencapai Rp66,75 triliun.

Faktor-faktor itu pun mendorong kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sekitar 7,32 persen secara year-to-date (ytd).

LQ45 pun naik 7,8 persen secara ytd. Di sisi lain Hendry membandingkannya dengan pasar modal di AS di mana S&P 500 terkoreksi 18,19 persen Dow Jones terkoreksi 14,4 persen dan Nasdaq terkoreksi 26,54 persen.

Hal itu pun diperkuat Purchasing Manager Index yang mencapai 51,7 pada Agustus 2022. Berarti manufaktur dalam negeri masih ekspansif untuk mendukung pemulihan ekonomi Indonesia. Tingkat konsumsi pun naik seperti penjualan mobil secara wholesales yang melonjak 60 persen pada Juni.

Dia pun menyebut saat ini 30 persen kapitalisasi pasar IHSG ditopang sektor banking atau finansial. Loan growth industri perbankan tercatat tumbuh pesat 10,71 persen. Menurutnya, seandainya inflasi naik 5-7 persen tahun ini dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen, berarti nominal GDP Indonesia tumbuh di kisaran 10-12 persen.

Jika nominal GDP sebesar itu, maka kredit perbankan kemungkinan tumbuh 10-12 persen pula. Hal itu akan mendongkrak laba industri perbankan, yang tentunya bagus bagi IHSG karena memang tertopang sektor tersebut.

“Itu banyak katalis yang kita perhatikan kondisi makro hari ini lebih bagus. Ini membuat kita yakin ekonomi Indonesia dalam track recovery yang bagus. Opportunity bisa kita lihat dari kondisi makro di mana inflasi tidak setinggi yang dikhawatirkan dan resesi juga tidak dalam,” lanjutnya.

Head of Equity Berdikari Manajemen Investasi Agung Ramadoni mengamini indikator-indikator penguatan makro ekonomi yang dipaparkan Hendry.

“Jadi dari sini saya memperkirakan GDP kita bahkan mungkin bisa masih cukup stabil di atas 5 persen,” ujarnya.

Oleh karena itu Agung memperkirakan pasar modal akan terus menguat. Hal itu berdasar pada beberapa faktor, yaitu fund manager berada dalam posisi memiliki dana tunai yang besar. Kemudian pasar ekuitas tidak bereaksi negatif terhadap kontraksi GDP AS dalam dua bulan berturut-turut.

Dana tunai di pasar domestik pun dalam posisi tetap tinggi. Lalu pasar modal Indonesia memiliki prospek yang lebih baik karena komoditas stabil pada level yang cukup baik. Serta aliran masuk dan asing yang kuat mengharapkan bank sentral melakukan penaikkan suku bunga.

"Berdasarkan data-data penjualan di pasar domestik seperti di antaranya data angka penjualan mobil yang sudah kembali ke level sebelum pandemi, data penjualan retailers yang terus membaik dalam beberapa bulan terakhir, data penjualan semen domestik yang masih sedikit positif jika dibandingkan dengan tahun lalu, dan terakhir data penjualan dari sektor properti yang juga mulai kembali ke level normal seperti sebelum pandemi," papar Agung.

Sementara itu, Muhammad Hamzah, Chief Analyst Sahamology mengatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini akan mendorong IHSG lebih positif. IHSG butuh break di level 7.258.
 
“Kesimpulan menurut pendapat pribadi saya level 7.258 harusnya dapat di-break pertengahan bulan ini, atau bahkan pekan ini. Karena di sini ada satu fibonacci time zone yang sudah mendekati,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper