Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak dunia masih berpotensi melemah hingga akhir tahun 2022 di tengah sejumlah sentimen seperti penurunan permintaan dari China dan pembahasan kesepakatan nuklir Iran.
Meski demikian, OPEC+ diprediksi akan mengambil langkah–langkah strategis untuk mengerek harga hingga ke level US$100 per barel.
Komisaris Utama PT HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menjelaskan, harga minyak mentah masih cenderung tertekan karena OPEC+ tidak membahas potensi pengurangan produksi minyak mentah hingga saat ini.
Harga minyak sempat reli pada pekan lalu ketika Arab Saudi membahas kemungkinan bahwa OPEC+ perlu membatasi pasokan karena terputusnya harga minyak berjangka.
“Pasar akan mencermati pertemuan OPEC+ pada Senin, 5 September yang membahas tingkat produksi minyak mentah,” kata Sutopo saat dihubungi Bisnis, Jumat (2/9/2022).
Pelemahan harga minyak juga disebabkan oleh penurunan indeks S&P 500. Tercatat, indeks tersebut terkoreksi ke level terendah dalam 6 pekan terakhir pada Kamis kemarin. Hal ini membuat kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi dan permintaan energi melemah.
Baca Juga
Sutopo melanjutkan, pergerakan harga minyak global ke depannya akan dipengaruhi oleh sejumlah sentimen. Faktor pendukung untuk harga minyak adalah komentar dari Iran yang mengatakan bahwa pembicaraan dengan AS terkait kesepakatan nuklir akan berlarut-larut hingga bulan depan.
“Pernyataan ini mengekang spekulasi bahwa kesepakatan yang akan segera terjadi nantinya mencabut sanksi terhadap Iran. Sehingga, Iran nantinya dapat mengekspor minyak ke pasar global,” jelas Sutopo.
Sementara itu, berkurangnya permintaan dari China akan menjadi faktor bearish untuk harga minyak mentah. Permintaan minyak China pada Juli tercatat turun 9,7 persen yoy menjadi 12,16 juta barel per hari. Permintaan minyak China pada Januari-Juli turun 4,6 persen yoy menjadi 12,74 juta barel per hari.
Sutopo memprediksi OPEC+ akan menahan harga minyak dunia di angka US$100 hingga akhir tahun. Langkah tersebut akan dilakukan melalui pengurangan produksi minyak global.
Namun, prospek pertumbuhan ekonomi karena kenaikan suku bunga juga dapat berdampak negatif bagi harga minyak karena pembelian yang dilakukan dalam denominasi dolar AS tentunya akan menjadi mahal bagi pembeli luar negeri.
“Tetapi, menurut kami lemahnya permintaan juga tidak menutup kemungkinan membawa turun harga minyak hingga ke US$75 sebelum prospek membaik,” pungkasnya.