Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IHSG Jadi Salah Satu Indeks Terbaik di Dunia Hadapi Resesi Global

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu indeks saham yang terbaik di dunia di tengah ancaman resesi global.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu indeks saham yang terbaik di dunia di tengah ancaman resesi global. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu indeks saham yang terbaik di dunia di tengah ancaman resesi global. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah analis dan pelaku pasar modal di Tanah Air optimistis kondisi ekonomi dan pasar modal di Indonesia masih ekspansif, kendati dunia dibayangi resesi.

Indonesia dinilai punya pengalaman yang cukup baik terkait resesi global dan memiliki ketahanan fundamental yang cukup kuat, sehingga kondisi tersebut menjadi sentimen positif bagi kinerja pasar modal domestik.

Founder Forum Saham dan Beta Trader Yuza Sha mengungkapkan performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi salah satu indeks saham yang terbaik di dunia.

“Dibandingkan indeks saham gabungan negara lain year to date pertumbuhannya mencapai 7,6 persen. Nomor 1 di ASEAN, semua negara merah hanya Singapura yang hijau. Lalu, nomor 1 di Asia Pasifik dan nomor 6 di dunia,” terang Yuza dikutip Senin (8/8/2022).

Hal senada diungkapkan Head of Equity Retail Samuel Sekuritas A.A. Damargumilang. Dia menilai kinerja IHSG diproyeksikan akan terus menguat.

Dia melihat dalam sebulan terakhir setelah berada di angka terendah di level 6.500, IHSG kemudian perlahan terus naik dari level 6.740 sampai 6.800, dan pekan lalu berada di level 7.084,65.

“Sejak 26 Juli 2022 up trend-nya bagus dan sangat cepat. Untuk ke depan, IHSG punya resistance di level 7.300 sampai 7.555, namun untuk support terbawahnya di angka 6.900 sampai 7.000 sudah cukup bagus,” jelas Damargumilang.

Proyeksi tersebut tentu saja sesuai dengan kondisi dan fundamental yang ada. Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS untuk kuartal II/2022, dan laporan kinerja yang bagus dari para emiten untuk kinerja kuartal II/2022.

“Untuk saham-sahamnya, dari bluechip yang terbaik itu BBCA harga sahamnya sudah cukup tinggi. Untuk opportunity ada di BBRI dan ASII. Untuk sektor yang berikutnya adalah perusahaan komoditas, ada batu bara, sawit, dan metal, dan oil dan gas. Serta, sektor lainnya seperti telekomunikasi dan media, serta teknologi,” jelasnya.

Sejatinya, saham-saham yang lebih tahan terhadap resesi global bisa dilihat dari fundamentalnya.

“Fundamental yang menjadi landasaan dasar perusahaan adalah aktivitas atau bisnis perusahaan. Perusahaan itu baik sekali jika kualitas dan efisien secara bisnis,” terang Krisantus, Founder Analisa Fundamental Saham Indonesia (AFSI).

Sementara itu, Founder Syariah Saham Asep M. Saepul Islam yang kerap dipanggil Mang Amsi, menambahkan sejauh ini pasar bursa saham masih positif.

Saham syariah tetap menjadi pilihan, karena sudah teruji saat pandemi lalu di mana harga saham lainnya jatuh, justru indeks saham syariah tetap di jalur positif.

Senada dengan kinerja Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang tetap kinclong hingga saat ini, bahkan mengalahkan indeks saham LQ45.

“Dari sisi sektor yang lagi di puncaknya adalah transportasi dan logistik. Sedangkan, yang lagi jatuh itu teknologi, juga properti dan real estate. ISSI jadi indeks saham syariah dunia terbaik naik 6 persen. Untuk saham syariah likuid pilihan kuartal II 2022 itu ada UNTR, AKRA, HRUM, BTPS, TAPG, dan SMDR,” kata Asep.

Sementara itu, dari sentimen eksternal, Amerika Serikat (AS) dibayangi resesi dalam beberapa bulan terakhir ini, yang ditandai dengan adanya inversi yield.

“Perbandingan antara surat utang jangka pendek dan jangka panjang AS yang normal itu terakhir terjadi pada 2021, di mana surat utang jangka pendek akan lebih kecil yield-nya ketimbang yang jangka Panjang. Jika sebaliknya terjadi, maka perekonomian tengah mengalami resesi. Ini bisa menjadi salah satu indikator,” terang Yuza.

Perekonomian dunia dibayangi resesi, yang diakibatkan oleh kondisi geopolitik global dan isu perang, inflasi yang meningkat, hingga krisis energi.

Bayang-bayang resesi global telah digambarkan Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali memangkas pertumbuhan ekonomi dunia ke angka 3,2 persen. Penurunan ini akibat adanya inflasi yang tinggi di sejumlah negara, di antaranya AS.

Perekonomian AS dihantui inflasi yang cukup tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi. Posisi terakhir inflasi berada di angka 9,1 persen, tertinggi dalam empat tahun terakhir, dan pertumbuhan ekonomi per Agustus 2022 berada di minus 1 persen.

Sebagai respons kondisi tersebut, Bank Sentral Amerika (The Federal Reserve/The Fed) melakoni kebijakan menaikan suku bunga acuan (interest rate). Hal ini tentu akan berdampak pada perekonomian negara lainnya.

Namun, Yuza menilai Indonesia telah memiliki pengalaman yang cukup baik terkait resesi global, dan memiliki ketahanan yang cukup kuat.

Terbukti, pada krisis 2008 akibat subprime mortgage, Indonesia menjadi salah satu negara dari 5 negara yang tidak terdampak. Kemudian, pada proyeksi resesi global kali ini, Indonesia juga diproyeksikan oleh Bank Dunia sebagai salah satu negara potensi terdampaknya rendah, yakni sebesar 3 persen.

Fundamental perekonomian Indonesia yang dinilai masih cukup kuat tergambar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II 2022 tumbuh sebesar 5,44 persen.

Dengan tingkat inflasi mencapai 4,94 persen secara tahunan. Bank Indonesia (BI) telah menyatakan bahwa inflasi inti masih terjaga dengan baik.

Sementara itu, Maryadi Laksmono, Founder Mal Associates, mengatakan krisis energi telah dirasakan mulai akhir 2021.

“Di tengah potensi resesi global, Indonesia dan India menjadi beberapa negara yang terdampak minimal. Mengapa demikian? Karena kebijakan fiskal dan moneternya sama, yakni melakukan subsidi kepada kelas menengah ke bawah,” jelas Maryadi.

Bagi Maryadi, hal yang perlu diperhatikan kondisi negara mitra dagang Indonesia, di mana yang terbesar itu AS dan China. Jika kedua negara besar itu mengalami resesi, maka permintaan barang atau produk dari kedua negara akan berkurang.

“Namun demikian, lagi-lagi, kalau dilihat kita masih jauh dari imbas resesi. Ekonomi kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Malah kita tengah ekspansi. Kemudian, secara balance sheet kita juga diuntungkan dengan adanya peningkatan harga komoditas karena kita menjadi salah satu negara pengekspor," terangnya

Di luar itu, Indeks Kepercayaan Konsumen masih di atas 100, yakni 128,2 per April 2022, dan Purchasing Manager Indes (PMI) juga masih di atas angka 50.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper