Bisnis.com, JAKARTA – Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) merilis outlook pasar minyak pertama untuk tahun 2023. Dalam prospek tersebut, OPEC memperkirakan tekanan pasokan masih belum mereda.
Dilansir Bloomberg, dalam laporannya OPEC memperkirakan pertumbuhan permintaan minyak global melebihi peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel per hari tahun depan.
Untuk mengisi kekurangan, OPEC perlu meningkatkan produksi secara signifikan, tetapi produksi anggota sudah jauh di bawah volume yang dibutuhkan saat ini karena kurangnya investasi dan ketidakstabilan politik.
Harga minyak mentah bertahan di atas US$100 per barel karena ladang minyak dunia dan fasilitas penyulingan gagal mengimbangi lonjakan permintaan bahan bakar. Situasi ini memperburuk krisis biaya hidup dan mengancam akan membawa ekonomi global ke dalam resesi.
Presiden AS Joe Biden mendesak produsen Timur Tengah untuk meredakan krisis dengan membuka keran ekspor. Rencananya, Biden akan mengunjungi Arab Saudi, tetapi banyak analis memperkirakan eksportir Teluk tetap menjatah sisa kapasitas produksi cadangan mereka dengan hati-hati.
RBC Capital Markets LLC mengatakan jika Biden benar-benar membujuk Riyadh dan negara tetangga Uni Emirat Arab untuk menyiapkan pasokan tambahan, langkah tersebut kemungkinan akan diformalkan pada pertemuan OPEC berikutnya dan mitranya pada 3 Agustus,
Baca Juga
Tekanan Pasokan
Permintaan global diperkirakan meningkat 2,7 juta barel per hari pada 2023, didukung oleh pertumbuhan di negara berkembang, sementara pasokan di luar OPEC akan meningkat 1,7 juta per hari. Bensin dan solar akan mendorong pertumbuhan konsumsi.
Untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, OPEC perlu menyediakan rata-rata 30,1 juta barel per hari pada 2023. Angka tersebut berarti 13 negara anggota harus meningkatkan produksi sebesar 1,38 juta per hari dari level yang dipompa pada Juni.
OPEC telah meningkatkan kembali produksi yang terhenti selama pandemi, dengan tahap akhir dijadwalkan untuk bulan depan. Namun kelompok itu memompa jauh di bawah target kolektifnya karena negara-negara seperti Angola dan Nigeria mencatat penurunan kapasitas akibat kurangnya investasi dan masalah operasional.
Sementara itu, Libya mengalami kegagalan produksi minyak di tengah kerusuhan politik terbaru.
Karena kekurangan pasokan ini, persediaan bahan bakar di negara-negara industri menyusut dengan cepat, turun menjadi 312 juta barel di bawah rata-rata lima tahun di bulan Mei.