Bisnis.com, JAKARTA - Mengekspor komoditas merupakan pilihan produsen dengan beragam alasan antara lain karena komoditas belum terserap di pasar nasional, mengharapkan margin yang lebih besar dengan menjualnya di pasar internasional, atau gabungan dari keduanya.
Ekspor komoditas berbeda dengan ekspor produk yang sudah memiliki merek, label, maupun kemasan, karena dikirim secara bulk dengan harga yang lebih rendah. Importir memproses komoditas di negara tujuan dengan melakukan penyortiran, pembersihan, pengemasan, dan pemberian merek. Pemberian merek atau label tersebut umumnya dilakukan oleh retailer yang membeli komoditas dari importir/distributor.
Pilihan untuk menjual komoditas ke pasar internasional tentunya setelah melewati pertimbangan produsen di mana value added atau nilai tambah yang dihasilkan tidak sebesar jika produsen mengekspor dalam bentuk produk kemasan, apalagi produk olahan.
Untuk pasar yang sudah well developed seperti pasar Eropa Barat, Australia, dan Amerika Utara mengekspor komoditas adalah sebuah pilihan karena tingginya standar kualitas yang harus dipenuhi jika mengekspor dalam bentuk produk kemasan. Tingginya biaya promosi untuk melakukan penetrasi pasar, maupun layanan purnajual, termasuk penanganan klaim harus diperhitungkan dengan cermat.
Memperhatikan komponen biaya tambahan yang harus dialokasikan dalam mengekspor produk, tidak heran jika nilai komoditas yang diekspor oleh produsen nasional jauh di bawah nilai jual komoditas tersebut di pasar ritel negara tujuan. Sebagai ilustrasi biji kopi yang diekspor ke pasar negara maju dalam bentuk biji segar (green bean) untuk arabika kualitas terbaik dihargai US$5,5—US$8,0. Di pasar ritel di Eropa Barat setelah di-roasted siap digiling dihargai sebesar US$12—US$25. Sementara keuntungan eksportir hanya berkisar 10 persen—15 persen dari harga di pasar lokal.
Selisih harga produk di pasar ritel negara tujuan dengan harga komoditas nasional yang cukup besar memacu produsen untuk dapat mengekspor roasted coffee dibandingkan green bean. Pertanyaannya apakah dimungkinkan?
Baca Juga
Sama dengan komoditas perkebunan lainnya seperti rempah yang produk akhirnya dikemas oleh retailer yang masih tergolong industri kecil dan menengah di pasar negara tujuan, banyak pertimbangan mengapa produsen menjual dalam bentuk komoditas dengan margin yang rendah.
Pertama, tingginya persyaratan kebersihan dan keamanan pangan yang harus dipenuhi antara lain pengujian komoditas pada saat tiba di negara tujuan dan biaya pemeriksaan acak secara berkala terhadap produk yang dijual di pasaran oleh otoritas setempat. Konsumen cenderung memilih produk lokal yang sudah dikenal dan dipercaya sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu dalam menjaga kualitas, dimana harga tidak menjadi pertimbangan utama.
Kedua, masing-masing retailer melakukan proses roasting (untuk kopi) dan steaming (untuk rempah) yang khas dengan tingkat higienitas yang tinggi tanpa mengurangi cita rasa dan mampu menjaganya dari waktu ke waktu. Untuk produk olahan rempah yang dikemas dalam bentuk bumbu, kesamaan cita rasa untuk setiap batch produksi merupakan persyaratan yang harus dipertahankan. Hal ini tidak hanya membutuhkan metode pengujian yang teliti namun membutuhkan investasi mesin yang tidak murah.
Pertimbangan berikutnya yang besaran biayanya paling signifikan adalah biaya promosi di mana persentasenya mencapai 20 persen dari nilai jual produk di tahap awal.
Peningkatan perolehan margin dengan mengekspor dalam bentuk produk membutuhkan tambahan modal kerja yang besar pula. Ditambah lagi loyalitas konsumen di negara tujuan terhadap merek atau label dari pasar domestiknya membuat penetrasi produk olahan hasil perkebunan nasional makin tidak mudah.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya bagi eksportir nasional untuk shifting dari eksportir komoditas menjadi eksportir produk perkebunan. Penetrasi diawali dengan memperkenalkan merek atau label di pasar dalam negeri terlebih dulu, khususnya ke lokasi wisata yang sering dikunjungi wisatawan mancanegara baik dalam bentuk kemasan untuk konsumsi di tempat maupun suvenir.
Pendekatan seperti ini sudah jamak dilakukan oleh produsen dan eksportir di Pulau Bali. Langkah awal melalui penguatan merek di pasar dalam negeri dapat mendorong pelaku usaha dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas produk yang dihasilkan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah non-tarrif barrier yang diaplikasikan oleh konsumen cerdas di negara tujuan terhadap produk impor mampu memproteksi pemsaran produk olahan dari komoditas perkebunan yang dipasarkan di negaranya. Kondisi ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja untuk UKM dalam mengoperasikan confectionery shop di negara tujuan, tetapi secara tidak langsung mengurangi penerimaan negara eksportir komoditi dalam memungut pajak barang ekspor.
Dengan demikian yang menikmati rente perdagangan produk perkebunan bukan hanya pelaku usaha, tetapi juga pemerintah selaku pemungut pajak. Oleh karena itu perlunya kesadaran konsumen nasional untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri yang memiliki local content terbanyak sehingga dapat bersama-sama meningkatkan nilai tambah dari hasil perkebunan nasional.