Bisnis.com, JAKARTA – Pasar Saham Indonesia masih mampu mencatatkan kinerja positif di tengah sejumlah sentimen negatif dari eksternal.
Samuel Kesuma, Senior Portfolio Manager, Equity Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memaparkan, berlawanan dengan kinerja pasar global, pasar saham Indonesia konsisten mencatat kinerja positif sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga penutupan perdagangan Selasa (19/4/2022), IHSG masih mencatatkan return positif sebesar 9,33 persen secara year-to-date.
“Menurut kami Indonesia saat ini berada pada ‘sweet spot’ yang membuat pasar saham Indonesia kembali masuk dalam radar investor,” jelas Samuel dalam keterangan resmi, Selasa (19/4/2022).
Ia mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi katalis bagi pasar saham Indonesia. Pertama, dari perspektif makroekonomi, Indonesia berada dalam siklus pemulihan yang menarik bagi investor yang mencari growth di tengah tren normalisasi ekonomi global saat ini.
Kedua, Indonesia adalah net eksportir komoditas yang dipandang diuntungkan dari kenaikan harga komoditas saat ini dan dapat menjadi tempat berlindung bagi investor global. Selanjutnya, Indonesia juga diuntungkan dengan stabilitas nilai tukar rupiah dan makroekonomi yang solid.
Baca Juga
“Posisi Indonesia dan Asean yang netral di tengah tensi geopolitik antara negara barat dengan Rusia meminimalisir risiko geopolitik terhadap Indonesia,” jelasnya.
Secara keseluruhan, ia memandang positif outlook pasar Indonesia tahun ini didukung oleh bauran faktor pendukung dari pemulihan ekonomi domestik dan dinamika pasar global yang suportif bagi Indonesia.
Samuel melanjutkan, sebagai salah satu negara penghasil komoditas di Asia, Indonesia tentunya diuntungkan dari harga komoditas yang tinggi saat ini. Sementara itu, negara importir komoditas belum tentu dirugikan, karena kinerja ekspornya juga kuat.
Ia mencontohkan Korea Selatan dan Taiwan yang didukung oleh ekspor barang elektronik dan semikonduktor yang kuat di tengah tren digitalisasi saat ini. Ia mengatakan, Asia merupakan kawasan yang menarik bagi investor untuk diversifikasi dari kawasan Eropa yang terekspos pada Rusia, atau Amerika Serikat yang memasuki siklus pengetatan suku bunga.
Samuel melanjutkan, dampak kenaikan harga komoditas terhadap inflasi Indonesia relatif lebih gradual dibanding di kawasan negara maju. Di Indonesia terdapat beberapa barang yang harganya diatur oleh Pemerintah sehingga dapat menjadi bantalan di tengah kenaikan harga komoditas.
“Konsekuensinya adalah akan ada tekanan fiskal untuk subsidi. Tapi pendapatan pemerintah juga berpotensi lebih baik tahun ini disumbang dari komoditas yang dapat mengurangi tekanan fiskal negara,” jelasnya.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan pandangan akomodatif, meskipun prospek inflasi cenderung meningkat seiring meningkatnya harga komoditas dunia.
BI menegaskan bahwa kebijakan suku bunga rendah akan dipertahankan sampai terjadi tekanan inflasi yang bersifat fundamental yang terlihat pada inflasi inti, dan tidak menanggapi secara langsung kenaikan harga volatil dan yang diadministrasi.
“Suku bunga diperkirakan belum berubah selama tingkat inflasi inti masih terjaga, sementara rupiah didukung oleh stabilitas eksternal yang baik,” jelas Samuel.