Bisnis.com, JAKARTA – Beriringan dengan bangkitnya kinerja saham emiten berkapitalisasi besar, instrumen reksa dana saham dengan underlying emiten big cap juga turut cerah.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan mengungkapkan saham-saham berkapitalisasi besar yang tercermin dari kinerja indeks LQ45 ataupun IDX30 telah tumbuh di atas kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai kuartal IV/2021.
Hal tersebut ungkap Wawan terjadi karena ada ekspektasi perbaikan ekonomi sehingga salah satu yang diuntungkan dan menjadi proksi dari perbaikan ekonomi itu sendiri adalah saham-saham emiten keuangan.
Pihaknya mencatat saham emiten keuangan menguasai 40 persen hingga 45 persen kapitalisasi pasar yang ada di bursa. Sepanjang tahun ini, menurut Wawan kinerja emiten big cap perbankan sangat baik.
Selain itu, emiten big cap lain yang mencatatkan kinerja baik adalah dari sektor komoditas terutama untuk batu bara.
“Jadi reksa dana saham yang fokus ke saham-saham big cap saya rasa kinerjanya akan at least setara dengan indeks LQ45, IDX30,” ungkap Wawan saat dihubungi Bisnis, Rabu (16//2/2022).
Baca Juga
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per Rabu (16/2/2022), indeks yang berisikan emiten big cap seperti IDX30 maupun LQ45 masing-masing mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,91 persen year to date (ytd) dan 4,84 persen ytd. Kinerja tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang naik 4,08 persen ytd.
Beriringan dengan itu, berdasarkan data Infovesta kinerja reksa dana sepanjang tahun per 11 Februari 2022 juga tumbuh 0,08 persen ytd di saat IHSG pada waktu yang sama telah tumbuh 3,56 ytd.
Sementara itu, secara mingguan pada periode 4 Februari 2022 hingga 11 Februari 2022, instrumen reksa dana saham memimpin kinerja dengan tumbuh 0,90 persen.
Wawan pun mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sentimen yang akan mempengaruhi kinerja reksa dana saham tahun ini. Adapun hal yang paling berpengaruh adalah recovery economy atau pertumbuhan ekonomi.
Katalis yang menjadi pertumbuhan ekonomi sendiri adalah dari sisi kesehatan masyarakat dan juga ekspektasi kenaikan suku bunga.
Dia menjelaskan, jika gelombang ketiga Covid-19 bisa segera mencapai puncaknya dan turun maka tidak akan terlalu berpengaruh buruk bagi pertumbuhan ekonomi.
Sementara jika aktivitas masyarakat karena Covid-19 terus dibatasi atau malah ada kenaikan level PPKM, maka target pertumbuhan ekonomi hingga 5 persen bisa tidak tercapai.
“Setidaknya kalau Omicron ini gelombangnya bisa menurun di akhir Februari nanti, ya tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi full year. Ini bisa jadi katalis positif,” ujar Wawan.
Lalu juga terdapat sentimen kenaikan suku bunga pada tahun ini yang menurutnya turut akan mempengaruhi kinerja reksa dana saham. Ketika suku bunga naik, Wawan menjelaskan bisa menghambat pertumbuhan kredit meskipun tidak terlalu signifikan.
Selain itu, adanya kenaikan harga komoditas terutama batu bara akibat memanasnya situasi geopolitik antara Ukraina dan Rusia. Naiknya harga komoditas khususnya batu bara ungkap Wawan akan menguntungkan bagi Indonesia.
Dia mengatakan, berdasarkan pengalaman sebelumnya ketika harga batu bara naik, maka pertumbuhan ekonomi di Tanah Air membaik karena kegiatan ekspor yang meningkat, sehingga menguntungkan bagi emiten keuangan maupun consumer good.
Di sisi lain, kenaikan harga komoditas bisa memicu kenaikan inflasi. Sampai saat ini, Wawan berpandangan bahwa pemerintah tengah menjaga kenaikan inflasi dengan memberikan subsidi pada misalnya minyak goreng dan bahan bakar.
“Sepanjang itu dijaga ya harusnya inflasi belum terlalu naik ya. Ya harapannya kenaikan inflasi itu karena aktivitas masyarakat yang meningkat bukan karena harga bahan bakar naik,” kata Wawan.