Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economics atau Core Indonesia menilai bahwa pasar obligasi pada tahun ini akan lebih ketat karena kebijakan moneter global. Imbal hasil atau yield surat berharga negara atau SBN dapat menjadi magnet di tengah kondisi yang ketat.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai bahwa pada 2022 kondisi likuiditas akan lebih ketat. Dia meyakini bahwa Bank Indonesia (BI) akan memberlakukan kebijakan moneter ketat untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan moneter global.
Menurutnya, otoritas moneter akan mengantisipasi tekanan inflasi yang terus meningkat. Kondisi yang ada pun dapat berimbas terhadap SBN.
"Dengan likuiditas yg lebih ketat kemampuan pasar domestik menyerap SBN akan lebih terbatas," ujar Piter kepada Bisnis, Jumat (28/1/2022) sore.
Pasar obligasi diyakini akan menjadi lebih ketat tahun ini. Dalam kondisi tersebut, peran investor asing juga sulit diharapkan karena pengetatan likuiditas terjadi secara global.
Menurut Piter, pemerintah akan lebih berharap kepada BI melalui skema burden sharing untuk menutup kebutuhan pembiayaan fiskal. Skema itu telah berjalan selama pandemi Covid-19 yang menekan perekonomian.
Dia menilai bahwa SBN akan tetap menjadi sumber utama pembiayaan fiskal pada 2022. Namun, dengan tekanan yang besar di pasar sekunder, perlu adanya perhatian besar terhadap yield agar instrumen itu tetap menarik.
"Pasar sekunder SBN akan banyak tekanan, yield akan meningkat. Di tengah tren suku bunga yang lebih hawkish, likuiditas yang ketat, pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan yield dari SBN," ujar Piter.