Bisnis.com, JAKARTA - Tren January Effect menjadi yang paling ditunggu-tunggu oleh investor di pasar saham setiap awal tahun. Bagaimana tidak, harga saham biasanya melesat sepanjang Januari yang tercermin lewat penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Lantas apa yang dimaksud dengan January Effect dan bagaimana cara memanfaatkan momentum?
January Effect merupakan fenomena musiman di awal tahun ketika harga-harga saham bergerak naik. Infovesta Utama mencatat hal ini terjadi karena optimisme awal tahun dari para pelaku pasar dengan banyak melakukan pembelian saham yang sudah dijual pada akhir tahun.
Namun demikian, perlu diingat bahwa January Effect tidaklah terjadi setiap tahun. Potensi besar terjadinya January Effect tentu saja kombinasi dari kondisi makroekonomi yang terjadi di dunia setiap tahunnya.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per pekan pertama Januari 2022, IHSG mengalami peningkatan sebesar 1,82 persen menjadi 6.701,31 pada Jumat (7/1/2022) dari 6.581,48 pada pekan sebelumnya.
Lebih lanjut, Infovesta Utama menunjukkan bahwa January Effect belum terjadi dalam dua tahun terakhir atau sejak pandemi melanda dunia. Dapat dilihat bahwa IHSG mengalami penurunan pada Januari 2020 sebesar 5,71 persen secara bulanan. Begitu pula pada Januari 2021 ketika IHSG terkoreksi 1,95 persen.
Baca Juga
Namun, dua tahun sebelumnya, January Effect memang terjadi ketika pada Januari 2018 terlihat IHSG mengalami kenaikan 3,93 persen. Begitu pula pada Januari 2019 ketika IHSG naik lebih tinggi lagi 5,46 persen.
Sejak 2012, hanya pada 2017 yang tidak terjadi January Effect ketika IHSG turun tipis 0,05 persen.
Untuk melihat potensi terjadi January Effect pada awal tahun ini, investor telah melewati dua sentimen pada akhir tahun yaitu window dressing dan santa claus rally. Namun, kedua sentimen tersebut ternyata belum mampu mendongkrak IHSG menembus level support kuatnya pada 6.700.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Frankie Wijoyo Prasetyo mengatakan tren January Effects memiliki peluang untuk mengangkat IHSG pada awal tahun ini.
"Jadi alasan di balik ini bisa saja karena banyak investor yang di akhir tahun lalu melakukan pembenahan portofolionya dengan menjualnya terlebih dahulu, lalu kembali entry di awal tahun ini," kata Frankie kepada Bisnis, Senin (10/1/2022).
Tidak hanya investor, lanjutnya, kondisi tersebut juga dilakukan oleh para manajer investasi. Tentu saja, para investor bakal membidik saham-saham yang berkinerja baik.
Adapun, melihat sejarahnya January Effect dipopulerkan oleh Sidney B. Wachtel pada 1942. Dia mencermati bahwa saham-saham berkapitalisasi kecil cenderung naik tinggi di bulan Januari dibandingkan saham berkapitalisasi besar. Dengan demikian, January Effect juga disebut menjadi periode yang menguntungkan saham-saham berkapitalisasi kecil karena kenaikannya bisa lima kali lipat lebih tinggi dibandingkan big cap walaupun tidak selalu terjadi demikian.