Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kuartal I/2022, Rupiah Diproyeksi Menuju Rp14.400 per Dolar AS

Risiko yang dapat memicu pelemahan rupiah adalah berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter global.
Petugas menunjukkan mata uang dolar AS dan rupiah di Money Changer, Jakarta, Senin (19/4/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Petugas menunjukkan mata uang dolar AS dan rupiah di Money Changer, Jakarta, Senin (19/4/2021). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan nilai tukar rupiah pada kuartal pertama tahun ini akan berada pada level Rp14.300 hingga Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

Menurut Faisal, yang akan menjadi katalis positif bagi perkembangan nilai tukar rupiah adalah pemulihan ekonomi domestik yang terus terakselerasi.

Di samping itu, katalis positif lainnya adalah terjaganya kasus harian Covd-19 sehingga dapat menjaga aliran masuk modal asing pada awal tahun.

Namun demikian, risiko yang dapat memicu pelemahan rupiah adalah berlanjutnya normalisasi kebijakan moneter global.

“Risiko juga muncul dari rencana pelarangan ekspor batubara yang dapat menahan surplus neraca perdagangan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (4/1/2021).

Bisnis mencatat, nilai tukar rupiah pada perdagangan Selasa (4/1/2022) ditutup melemah dikarenakan adanya tekanan dari penguatan dolar AS yang masih cukup besar.

Berdasarkan data Bloomberg, Selasa (4/1/2022) rupiah ditutup terkoreksi 0,33 persen atau 47,5 poin ke Rp14.313. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,05 persen ke 96,25.

Pada Senin (3/1/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa ketahanan pasar keuangan Indonesia terhadap faktor eksternal masih kuat pada 2021, dan diharapkan tetap kuat pada 2022.

Dia menyampaikan, Indonesia masih resilien dalam merespons sentimen negatif global di tengah terjadinya aliran modal keluar (capital outflow) dari emerging markets, yang dipicu oleh normalisasi kebijakan moneter di negara maju.

Lebih lanjut, imbuhnya, kinerja rupiah juga relatif lebih baik jika dibandingkan dengan mata uang di negara emerging market lainnya, yang didorong oleh surplus transaksi berjalan dan neraca perdagangan.

"Indonesia termasuk salah satu yang kecil depresiasinya yaitu 1,4 persen. Tapi ini perlu diwaspadai, apabila rupiah terlalu kuat dibandingkan dengan negara-negara peer emerging, ini bisa mempengaruhi competitiveness dari ekspor kita," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper