Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) secara tak terduga mengerek suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 6,25% berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Rabu (24/4/2024). Hal tersebut turut berdampak pada pasar obligasi.
Fixed Income & Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi mengatakan, BI menaikkan suku bunga di luar konsensus dan ekspektasi. Menurutnya, keputusan tersebut untuk menghindari risiko depresiasi rupiah lebih lanjut.
Terlebih, jika inflasi Amerika Serikat (AS) tetap tinggi pada kuartal II/2024 sehingga memaksa The Fed untuk hanya menurunkan suku bunga sebesar 25 bps di pada semester II/2024, kemungkinan besar pada September atau November 2024.
"Kenaikan ini akan memperlebar selisih BI rate dengan Fed fund rate menjadi 75 bps, serta menaikkan harga dasar SBN tenor pendek JIBOR 1 minggu menjadi 6,50% dari 6,25%, serta tenor menengah dan panjang JIBOR 1 bulan menjadi 6,90% dari 6,65%," ujar Lionel kepada Bisnis, Rabu (24/4/2024).
Menurutnya, imbal hasil tenor pendek, seperti INDOGB 2 tahun dan 5 tahun, sudah mencerminkan kenaikan BI sebesar 25 bps. Namun, imbal hasil (yield) pada tenor menengah dan panjang belum mampu menangkap kemungkinan ini.
"Oleh karena itu, kami memperkirakan imbal hasil INDOGB 10 tahun akan meningkat lebih jauh ke 7,20%-7,40%," katanya.
Baca Juga
Selain itu, Lionel juga memundurkan skenario penurunan suku bunga BI ke semester I/2025, yang pada gilirannya menaikkan proyeksi imbal hasil INDOGB 10 tahun 2024 menjadi 6,9% dari sebelumnya 6,15%.
Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management, Reza Fahmi Riawan menambahkan, dampak kenaikan suku bunga BI terhadap pasar obligasi dapat bervariasi.
Misalnya, untuk obligasi pemerintah, kenaikan suku bunga dapat meningkatkan yield obligasi pemerintah sehingga menarik minat investor yang mencari imbal hasil yang lebih tinggi.
Sementara itu pada obligasi korporasi, kenaikan suku bunga dapat mempengaruhi biaya pinjaman bagi perusahaan, namun juga meningkatkan daya tarik obligasi korporasi dengan yield yang lebih tinggi.
"Tenor yang diuntungkan tergantung pada profil risiko dan tujuan investasi masing-masing investor," ujar Reza kepada Bisnis.
Menurutnya, obligasi pemerintah relatif lebih aman karena didukung oleh negara, seperti Sukuk Negara Ritel (SBR) dan Obligasi Negara Ritel (ORI).
"Untuk obligasi korporasi, pilih yang memiliki rating baik dan tenor yang sesuai. Contohnya obligasi dari Adira Dinamika Multifinance, Indosat, dan Maybank," jelasnya.
Investor juga perlu mencermati berbagai sentimen di dalam negeri seperti surplus perdagangan, belanja pemerintah, hingga respons pelaku bisnis terhadap pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) RI yang lebih singkat.
Sementara itu dari sentimen global, Reza mengatakan investor perlu mengamati proyeksi penurunan suku bunga AS oleh The Fed yang dapat mempengaruhi pasar obligasi global, serta tetap waspada terhadap ketidakpastian ekonomi global.