Bisnis.com, JAKARTA – Analis berpendapat keputusan bank sentral Inggris menaikkan suku bunga acuannya dapat berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah.
Dilansir Bloomberg, Bank of England (BOE) membuat kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya 15 basis poin menjadi 0,25 persen pada Kamis (16/12/2021). Keputusan ini menjadi yang pertama di antara negara-negara maju kelompok G7 yang melakukan pengetatan moneter sejak awal krisis.
Langkah ini dilakukan meskipun masih ada kehawatiran soal lonjakan kasus virus corona akibat varian Omicron guna mengatasi laju inflasi yang mencatat level tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Sementara itu, meskipun tidak memutuskan kenaikan suku bunga, rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) dari The Fed memutuskan bahwa Bank Sentral AS akan mengakhiri pembelian obligasi era pandemi pada Maret 2022. Setelah itu, bank sentral akan memulai kenaikan suku bunga hingga 0,75 bps pada 2022.
Menanggapi hal ini, Managing Director Head of Equity Capital Markets Samuel International Harry Su mengatakan Bank Indonesia perlu mengambil langkah pengetatan serupa jika tidak ingin rupiah terkena imbas dari pengetatan moneter bank-bank sentral global.
“Kita (Bank Indonesia) kalau tidak ikutan, kena nanti rupiah-nya,” ungkap Harry kepada Bisnis, Kamis (16/12/2021).
Baca Juga
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15 dan 16 Desember 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen.
Rapat bulanan tersebut juga memutuskan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
"Keputusan ini sejalan dengan masih perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah perkiraan inflasi yang rendah dan upaya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi", ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Pery Warjiyo, Kamis (16/12/2021).
Terkait pernyataan hawkish dari The fed, Harry juga mengingatkan investor perlu bersikap defensif dalam waktu dekat.
“Kita harus defensif, walaupun pasar hingga di suatu titik sudah memperhitungkan pernyataan hawkish The Fed. Kalau begitu, waktu The Fed menaikkan suku bunga akan menjadi variabel penting,” kata Harry dalam catatan yang diterima Bisnis, Kamis (16/12/2021).
Dengan kondisi saat ini, Harry menyarankan investor untuk melakukan aksi jual saat momentum window dressing akhir tahun dan January Effect awal tahun. Dia menyebutkan posisi beli dapat dilakukan ketika pasar kembali tertekan.
Adapun, beberapa sektor yang dinilai bakal terpengaruh oleh kebijakan The Fed adalah sektor yang sensitif dengan pergerakan suku bunga seperti perbankan, properti, serta barang konsumen seperti peritel dan otomotif.
Selain itu, investor juga harus mencermati saham-saham dari perusahaan yang memiliki tingkat utang tinggi. Tak boleh dilupakan pula, perusahaan yang memiliki utang dalam dolar AS juga dinilai rentan pada masa tapering karena potensi penguatan dolar AS.
“Saham siklikal seperti komoditas juga akan tertekan karena harga turun saat dolar menguat. Saham teknologi yang membutuhkan pendanaan juga tidak akan perform saat likuiditas mengetat,” pungkasnya.