Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan tapering The Fed dan isu batas utang (debt ceiling) di Amerika Serikat diprediksi akan menekan pergerakan imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) Indonesia hingga akhir tahun ini.
Data dari laman World Government Bonds pada Rabu (6/10/2021) mencatat, tingkat imbal hasil Surat Utang Negara Indonesia seri acuan 10 tahun berada pada kisaran 6,390 persen. Selama 1 pekan terakhir, yield SUN Indonesia tercatat menguat 0,8 basis poin.
Di sisi lain, pergerakan yield SUN Indonesia menunjukkan pelemahan sebesar 21,5 basis poin selama 1 bulan belakangan.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan pergerakan imbal hasil SUN Indonesia sepanjang kuartal III/2021 kemarin cukup positif. Yield SUN Indonesia seri 10 tahun mampu bergerak pada rentang 6 persen hingga 6,2 persen.
Menurutnya, pergerakan tersebut utamanya ditopang oleh kondisi perekonomian Indonesia yang terus menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Sejumlah data seperti pergerakan nilai rupiah, inflasi dan lainnya menunjukkan tren yang stabil dan bahkan cenderung positif sehingga dapat menjaga yield SUN.
Sebagai catatan, pergerakan harga obligasi dan yield obligasi saling bertolak belakang. Kenaikan harga obligasi akan membuat posisi yield mengalami penurunan sementara penurunan harga akan menekan tingkat imbal hasil.
Baca Juga
“Dari sisi internal, kondisinya memang sangat positif. Makanya imbal hasil kita juga sempat menyentuh 6 persen dan bahkan menguat sedikit di bawah level tersebut,” katanya saat dihubungi Bisnis pada Rabu (6/10/2021).
Meski demikian, ia mengatakan pergerakan yield SUN Indonesia mulai menunjukkan tren koreksi selama beberapa pekan belakangan. Tren pelemahan tersebut diprediksi akan terus berlanjut hingga akhir tahun seiring dengan isu tapering yang rencananya dimulai pada November 2021.
Ramdhan menjelaskan, program tapering yang dilaksanakan The Fed akan memicu investor untuk beralih ke pasar AS dari emerging market seperti Indonesia. Akibatnya, pasar obligasi Indonesia akan kembali merasakan capital outflow meski tidak setinggi pada masa awal pandemi virus corona.
Aliran dana yang keluar tersebut, lanjutnya, akan membuat investor domestik cenderung lebih waspada. Akibatnya, tingkat likuiditas di pasar SUN Indonesia akan ikut tergerus.
“Pasar SUN Indonesia saat ini masih ditopang oleh investor domestik karena tingkat kepemilikan asing yang belum pulih. Kalau para investor domestik lebih wait and see, maka likuiditasnya akan turun yang akan berdampak juga pada pelemahan yield,” jelas Ramdhan.
Meski demikian, Ramdhan menilai pelemahan imbal hasil yang terjadi pada pasar SUN Indonesia akan cenderung terbatas. Hal ini seiring dengan kondisi pasar SUN domestik yang masih didominasi oleh investor dalam negeri.
Selain itu, sentimen tapering juga dinilai sudah cukup diperhitungkan pasar sejak awal tahun ini. Sehingga, imbasnya terhadap kondisi pasar obligasi Indonesia hanya bersifat temporer.
“Setelah isu tapering ini mereda, pasar akan kembali mencari sentimen-sentimen lain yang signifikan,” katanya.
Ramdhan memprediksi, imbal hasil SUN RI seri 10 tahun akan bergerak pada rentang 6,3 persen sampai 6,6 persen di sisa tahun 2021.
Sementara itu, Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C. Permana mengatakan, pergerakan imbal hasil SUN Indonesia akan dipengaruhi oleh sentimen-sentimen global. Menurutnya, kondisi pasar di global yang cenderung fluktuatif akan turut menekan yield SUN Indonesia.
“Dari dalam negeri, sebenarnya sentimennya sudah cukup baik. Cadangan devisa kita masih tinggi, neraca dagang bagus, inflasi juga terjaga,” jelasnya.
Salah satu sentimen global yang mempengaruhi prospek imbal hasil SUN Indonesia adalah risiko gagal bayar yang dialami oleh Evergrande. Fikri mengatakan, katalis ini memicu adanya risk on dari pasar yang menekan pasar obligasi, termasuk di Indonesia.
Selain itu, proses negosiasi terkait batas utang di AS juga diyakini akan berperan signifikan terhadap fluktuasi yield SUN di Indonesia. Menurutnya, pasar obligasi global dan Indonesia akan terancam jika AS gagal mencapai kesepakatan di level Kongres dan Senat pada 18 Oktober mendatang.
“Karena ini akan menjadi gagal bayar (default) pertama pemerintah AS sepanjang sejarah yang akan menjadi preseden buruk dan memunculkan risiko repositioning atau rebalancing yang signifikan terhadap portofolio semua aset secara global,” jelas Fikri.
Fikri melanjutkan, apabila negosiasi debt ceiling tersebut memunculkan kesepakatan, maka pergerakan yield SUN Indonesia dapat menguat kembali ke kisaran 6 persen. Ia memprediksi skenario terbaik yield SUN Indonesia akan berkisar pada 5,9 persen hingga 6 persen.
"Tetapi, jika negosiasi debt ceiling di AS tidak memunculkan kesepakatan sampai batas 18 Oktober, maka pasar global, termasuk pemerintah Indonesia, pastinya akan melakukan langkah-langkah pencegahan. Kami memperkirakan untuk worst case yield SUN berada di level 6,5 persen sampai 6,6 persen di akhir 2021,” pungkasnya.