Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Data Penjualan Ritel Warnai Rencana Tapering, Bursa AS Melemah

Investor mempertimbangkan dampak dari kenaikan penjualan ritel bulan Agustus dan kenaikan klaim pengangguran mingguan pada rencana Federal Reserve untuk mengurangi stimulus.
Seorang pejalan kaki yang memakai masker lewat di depan gedung bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, pada Kamis, (22/7/2021)./Bloomberg
Seorang pejalan kaki yang memakai masker lewat di depan gedung bursa saham New York Stock Exchange (NYSE), New York, AS, pada Kamis, (22/7/2021)./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat melemah pada awal perdagangan Kamis (16/9/2021) karena investor mempertimbangkan dampak dari kenaikan penjualan ritel bulan Agustus dan kenaikan klaim pengangguran mingguan pada rencana Federal Reserve untuk mengurangi stimulus.

Berdasarkan data Bloomberg, indeks Dow Jones Industrial Average melemah 0,56 persen ke level 34.620,27, sedangkan indeks S&P 500 turun 0,69 persen ke 4.449,60 dan Nasdaq Composite melemah 0,71 persen.

Indeks turun bahkan setelah penjualan ritel Agustus mencatat kenaikan 0,7 persen dari bulan sebelumnya. Saham sektor bahan baku dan energi memimpin penurunan. Saham kasino yang beroperasi di Makau juga melemah di tengah pengetatan aturan pusat perjudian oleh pemerintah.

"Investor benar-benar mencoba untuk mempertimbangkan tarik menarik kekhawatiran antara seberapa cepat The Fed akan melakukan tapering," kata kepala analis National Securities Art Hogan, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (16/9/2021).

Sementara itu, perusahaan perjalanan dan liburan memimpin kenaikan di bursa eropa setelah Ryanair Holdings Plc menaikkan target pertumbuhannya.

Investor terus menilai prospek pembukaan kembali ekonomi di tengah wabah virus delta dan kenaikan biaya yang dipicu oleh harga komoditas yang lebih tinggi dan gangguan pasokan terkait pandemi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan ekonomi global diperkirakan akan mengalami pemulihan tercepat dalam hampir lima dekade tahun ini, tetapi memperingatkan tentang kesenjangan yang semakin dalam antara negara-negara maju dan berkembang.

“Selama Covid-19 tetap menjadi ancaman, ekonomi akan membutuhkan dukungan kebijakan,” kata Nema Ramkhelawan-Bhana, analis Rand Merchant Bank.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper