Bisnis.com, JAKARTA – Secara industri, total dana kelolaan atau asset under management (AUM) diperkirakan sulit menyamai tahun lalu.
Sekadar catatan, sampai dengan Agustus total dana kelolaan mencapai Rp542,54 triliun atau terkoreksi 5,02 persen selama tahun berjalan.
Head of Capital Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai sulitnya menyamai kinerja tahun lalu, lantaran industri AUM tengah kekurangan sengatan yang dapat menarik modal masuk.
“Sulit menembus rekor tahun lalu, terutama karena insentif pajak obligasi reksadana sudah tidak ada lagi sama-sama 10 persen maka industri reksadana terproteksi menjadi tidak menarik lagi buat investor institusi,” katanya kepada Bisnis baru-baru ini.
Seperti diketahui, pemerintah memberikan keringanan pajak penghasilan (PPh) bunga obligasi untuk investor domestik menjadi 10 persen. Adapun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) total AUM terus mengalami penyusutan sejak awal tahun.
Baca Juga
Pada Januari, OJK mencatat dana kelolaan menyentuh level Rp571,26 triliun. Sebuah rekor tertinggi sejak 2013. Namun angka itu terus mengendur hingga ke level Rp536,10 triliun pada Juni. Na’asnya ketika dana kelola mulai bangkit ke level Rp542,54 triliun per Agustus, beleid anyar tersebut ditetapkan.
OJK mencatat reksa dana saham mencatatkan kenaikan 5 persen menjadi Rp127,5 triliun. Begitu juga dengan reksa dana pendapatan tetap menjadi RpRp149,20 triliun. Akan tetapi, penurunan dalam terjadi pada reksa dana terproteksi atau capital protected fund. Tercatat, jumlah dana kelolaan reksa dana terproteksi pada akhir Agustus 2021 menyusut menjadi Rp93,73 triliun dari posisi Rp98,95 triliun.
Oleh sebab itu, Wawan menilai saat ini produk paling potensial bagi investor adalah pasar uang dan pendapatan tetap. Dia merekomendasikan investor memasang strategi 5-3-2 untuk jangka menengah,
“Untuk jangka 3 tahun saya merekomendasikan strategi 5-3-2. Yaitu, 50 persen pada berbasis obligasi, 20 persen pada berbasis saham dan 20 persen ada pasar uang,” imbuhnya.