Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah berencana menggeser posisi PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. sebagai pemegang saham mayoritas di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) selaku konsorsium yang mengerjakan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB).
Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan saat ini sedang disusun peraturan presiden untuk mengubah pimpinan konsorsium menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Kami berencana mengubah konsorsium ini diubah menjadi dipimpin KAI, kami sedang rancang di Perpres-nya, sehingga nanti KAI benar-benar menjadi pemain utama dalam menyelesaikan dan mengoperasikan kereta cepat,” kata Tiko dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri BUMN, pekan lalu.
Adapun, PT Pilar Sinergi BUMN Indnesia (PSBI) saat ini terdiri dari konsorsium 4 BUMN yaitu PT Wijaya Karya (Persero) Tb. dengan kepemilikan saham 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (Persero) 25 persen, PT Perkebunan Nusantara VIII 25 persen, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk sebanyak 12 persen.
Konsorsium dari BUMN Indonesia ini memegang 60 persen saham dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, sedangkan 40 persen dimiliki oleh China Railway International Co. Ltd.
Proyek KCJB diatur dalam Perpres 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Baca Juga
Lebih lanjut, Tiko mengatakan sejauh ini proyek KCJB sudah berjalan hingga 74 persen dengan perkembangan yang sangat pesat dalam dua tahun terakhir.
Namun terdapat tiga permasalahan di dalam proyek ini, sehingga diperlukan perubahan Perpres, yaitu pemenuhan ekuitas dasar, cost overrun, dan cash deficit saat operasional awal.
Untuk ekuitas dasar, terdapat kekurangan setoran dari 4 BUMN yaitu Wijaya Karya sebesar Rp0,24 triliun, PTPN VIII sebesar Rp3,14 triliun, PT KAI sebesar Rp0,44 triliun, dan Jasa Marga Sebesar Rp0,54 triliun.
Kekurangan ini, kata Tiko, sedang diusulkan untuk dipenuhi melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT KAI sebesar Rp4,36 triliun. Adapun, PTPN VIIII disebut tidak memungkinan untuk melakukan setoran tunai yang tadinya dimintakan dalam bentuk tanah.
“Ini ada kesalahan dalam kajian hukum di awal sehingga akumulasi dari itu plus sedikit kekurangan injeksi modal dari Wika dan KAI kita harapkan bisa dimasukkan dalam base equity dari PMN karena kita ketahui perusahaan-perusahaan ini seperti kita ketahui sedang tertekan karena Covid,” tutur Tiko.
Selanjutnya, cost overrun terjadi akibat keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimistis serta kurang kuatnya manajemen proyek diperkirakan sebesar US$1,4 miliar - US$1,9 miliar.
Tiko mengatakan saat ini sedang dilakukan diskusi mengenai cost overrun tersebut dengan pihak China. Untuk ini, juga diusulkan bakal dipenuhi melalui PMN kepada PT KAI sebesar Rp4,1 triliun.
Sementara untuk cash deficit saat proyek akan beroperasi nantinya juga tengah diskemakan dengan pembiayaan bank dalam hal ini dari CDB dengan jaminan dari PT KAI.