Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian BUMN menargetkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mampu merestrukturisasi utang menjadi US$1,5 miliar dari saat ini sekitar US$4,5 miliar.
Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo menyampaikan permasalahan utama Garuda di masa lalu karena penyewaan yang melebihi cost wajar, dan jenis pesawatnya terlalu banyak. Garuda sejumlah pesawat seperti Boeing 737, Boeing 777, Airbus A320, A330, hingga ATR dan bombardir.
"Karena pesawat banyak, sehingga memang efisiensinya menjadi bermasalah," paparnya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Kamis (3/6/2021).
Di sisi lain, rute yang diterbangi banhyak yang tidak profitable. Sebetulnya pada 2019 Garuda sudah untung, tetapi terhantam pandemi Covid-19 pada 2020.
Setelah Covid-19, ada permasalah baru baru yaitu perubahan pengakuan kewajiban mengikuti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), dimana operasional list yang dicatat sebagai opex kemudian dicatat sebagai hutang.
"Oleh karena itu, utang yang tadinya Rp20 triliun membengkak menjadi Rp70 triliun, yang memang secara PSAK diwajibkan dicatatkan sebagai kewajiban," imbuh Tiko.
Baca Juga
Apabila Garuda melakukan restrukturisasi yang sifatnya fundamental utang yang sekitar US$4,5 miliar (sekitar Rp64,35 triliun) harus turun di kisaran US$1 miliar-US$1,5 miliar (sekitar Rp14,3 triliun-Rp21,45 triliun).
Menurut Tiko, ecara sederhana kalau Ebitda Garuda sekitar US$200 juta-US$250 juta, kondisi keuangan normal maksimum rasionya 6 kali menjadi sekitar US$1,5 miliar.
"Di atas itu, Garuda tidak bisa going concern karena tidak akan mampu membayar utang-utangnya.
Oleh karena itu, Kementerian BUMN sedang secara intensif bicara dengan manajemen, termasuk pemegang saham minoritas, dan Kementerian Keuangan, bagaimana proses restrukturisasi Garuda ke depan harus mampu mengurangi utang ini.
"Ini yang sedang kita rumuskan pola-polanya maupun legal prosesnya karena ini melibatkan lessor dan ada peminjaman dalam bentuk global sukuk yang dimiliki oleh para investor Timur Tengah. sehingga mau tidak mau kalau mau melakukan renegosiasi secara internasional harus melalui proses legal internasional, tidak bisa pakai hukum indonesia," jelasnya.