Bisnis.com, JAKARTA—Reksa dana berbasis pasar uang menjadi satu-satunya jenis reksa dana terbuka yang mencatatkan kinerja positif sepanjang tahun berjalan, seiring kinerja reksa dana berbasis saham dan obligasi tertekan volatilitas pasar yang tinggi.
Berdasarkan data Infovesta Utama, kinerja reksa dana pasar uang menduduki posisi paling atas yakni 1,40 persen secara year to date (ytd), juga lebih tinggi dibandingkan indeks acuan imbal hasil Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sebesar 1,36 persen ytd.
Sementara tiga jenis reksa dana lainnya mencetak kinerja negatif, berturut-turut reksa dana pendapatan tetap -0,53 persen, reksa dana campuran -1,84 persen, dan reksa dana saham di posisi paling buncit dengan imbal hasil -6,26 persen.
Infovesta Utama mengungkapkan, tekanan yang mendera mayoritas jenis reksa dana disebabkan oleh pasar saham dan pasar obligasi yang masih memiliki volatilitas tinggi kendati data ekonomi dunia mulai membaik secara bertahap.
Sebagai gambaran, Di Amerika Serikat, data klaim pengangguran untuk pertama kalinya turun ke level sebelum pandemi yaitu pada level 406.000, berdasarkan data yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat pada Kamis (27/5/2021) lalu.
“Ini memberikan indikasi positif kesehatan pemulihan ekonomi. Selain itu, tingkat inflasi Amerika Serikat terus mengalami kenaikan,” jelas tim riset Infovesta Utama, dalam publikasinya yang dikutip Bisnis, Selasa (1/6/2021).
Baca Juga
Tak hanya di AS, Zona Eropa juga mencatat jumlah pengangguran turun 209.000 dari bulan sebelumnya dan tingkat Inflasi Eropa mencatatkan level tertinggi sejak April 2019 di level 1,6 persen.
Begitu pula di China yang mencetak inflasi bulanan tertinggi sepanjang 2021 yakni 0,9 persen pada April lalu.
Namun, membaiknya data ekonomi Global belum memberikan dampak positif pada kinerja reksa dana, terutama reksa dana yang lebih berisiko seperti reksa dana berbasis saham dan obligasi.
Beberapa permasalahan yang masih melanda dunia seperti peningkatan kasus Covid-19 khususnya di negara Asia yang menyebabkan penerapan kembali lockdown serta efektivitas vaksin yang masih belum bisa dipastikan memberikan tekanan tersebut.
Selain itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi global seperti kenaikan inflasi yang terjadi di Amerika Serikat dikhawatirkan menyebabkan aksi tapering off atau pengurangan stimulus berupa pembelian surat berharga di pasar surat utang.
“Jika hal tersebut terjadi, biasanya diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga acuan, yang pada akhirnya memberikan tekanan tambahan untuk aset-aset investasi berisiko,” tambah Infovesta.
Mengacu pada kondisi di atas, Infovesta mengatakan investor masih perlu wait and see pada reksa dana pendapatan tetap karena masih terdapat kekhawatiran aksi tapering off yang dapat berdampak negatif pada kinerja pasar obligasi.
Sementara itu untuk reksa dana saham investor masih dapat melakukan average down ketika IHSG sedang melemah dengan harapan pemulihan ekonomi dalam jangka panjang.
Di sisi lain, reksa dana pasar uang dengan kinerjanya yang stabil dapat menjadi alternatif penempatan dana sambil menanti momen untuk kembali masuk ke jenis reksa dana yang lebih berisiko.