Bisnis.com, JAKARTA - Emiten terminal kendaraan anak usaha Pelindo II, PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk. (IPCC) akan mengintensifkan penagihan piutang usaha untuk memperlancar arus kas perseroan pada 2021.
Berdasarkan data laporan keuangan per 31 Desember 2020, emiten bersandi IPCC mengalami penurunan posisi total piutang dari Rp84,69 miliar sepanjang tahun 2019 menjadi Rp67,41 miliar pada 2020.
Adapun jumlah tersebut terdiri dari piutang usaha dan piutang lain-lain dengan porsi masing-masing 97,38 persen dan 2,62 persen dari total keseluruhan piutang yang dimiliki oleh IPCC.
Investor Relations Indonesia Kendaraan Terminal Reza Priyambada menuturkan, jumlah piutang usaha, terdiri atas piutang usaha berdasarkan umur piutang dengan porsi terbesar pada sub kategori piutang telah jatuh tempo dengan waktu lebih dari 180 hari dan waktu 1-30 hari. Per akhir 2020 masing-masing sejumlah Rp41,50 miliar dan Rp26,85 miliar.
"Lalu, terdapat sub kategori berdasarkan pelanggan dan berdasarkan mata uang. Semua piutang usaha IPCC dalam bentuk mata uang rupiah dan tidak adanya eksposur mata uang dalam valuta asing," urainya, Selasa (18/5/2021).
Untuk mengantisipasi adanya risiko piutang tak tertagih maka manajemen melakukan provisi terhadap nilai piutang. Pada 2020, jumlahnya mengalami kenaikan menjadi Rp37,45 miliar, dari tahun sebelumnya Rp10,23 miliar.
Baca Juga
Adapun tujuan dilakukannya pencadangan penyisihan ini untuk menutupi kemungkinan kerugian dari tidak tertagihnya piutang, khususnya pada nilai piutang yang sudah lama umurnya.
"Selain itu, IPCC juga melakukan perbaikan pada metode penagihan atau kolektibilitas terhadap munculnya piutang di perseroan," katanya.
Reza menjelaskan, nilai piutang di neraca diupayakan dapat terjaga agar nilainya sama dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan. Oleh karena itu, agar nilai piutang dapat merepresentasikan nilai bersih yang dapat direalisasikan maka piutang yang diperkirakan tidak dapat tertagih perlu disisihkan atau dicadangkan dari pos piutang melalui metode pencadangan piutang tidak tertagih.
Menurut Reza, cara tersebut ialah dengan melakukan estimasi besarnya piutang-piutang yang tidak dapat tertagih. Kemudian, menyajikan nilai estimasi tersebut sebagai penyisihan piutang tidak tertagih, yang nantinya akan mengurangi nilai piutang bruto.
Dalam Laporan Keuangan IPCC, nilai piutang usaha pada 2020 berdasarkan kategori umur piutang adalah sebesar Rp103,09 miliar. Lalu, dikurangi dengan penyisihan penurunan nilai sebesar Rp37,45 miliar sehingga didapatkan nilai piutang bersih sebesar Rp65,64 miliar. Nilai tersebut lebih rendah 22,17 persen dibandingkan nilai piutang usaha pada 2019 sebesar Rp84,34 miliar.
Sementara itu, untuk mengurangi terjadinya kembali peningkatan nilai piutang tak tertagih maka IPCC juga menerapkan metode penggunaan supply chain financing (SCF) kepada para pengguna jasa.
Saat ini, IPCC telah menjalin kerja sama dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dalam implementasi SCF.
"Skema SCF memungkinkan IPCC menerima pembayaran dari perbankan atas layanan yang diberikan IPCC kepada para pelanggannya dalam jangka waktu yang lebih singkat setelah nota penagihan diterbitkan," katanya.
Selanjutnya, pihak pengguna jasa yang akan melakukan pembayaran kepada perbankan. Dengan terjalinnya kerja sama tersebut maka penyelesaian piutang ke depannya akan lebih terkendali dan terselesaikan dengan baik.
Dengan demikian, arus kas operasi perseroan pun akan lebih lancar ke depannya sehingga menjaga kinerja keuangan IPCC yang lebih baik.
Di sisi lain, untuk menjaga keberlangsungan pemberian jasa pelayanan kepelabuhan kepada para pelanggan, IPCC juga memberlakukan metode cash management system (CMS). Sistem ini membuat para pengguna jasa memberikan deposit sejumlah tertentu sebelum dilakukannya bongkar muat dari dan ke kapal Ro-Ro.
Dengan adanya CMS maka diharapkan dapat mencegah timbulnya piutang baru seiring dengan sudah adanya pembayaran di awal yang dilakukan. Penyelesaian masalah piutang usaha ini menjadi salah satu fokus dari manajemen karena menjadi bagian dari penilaian dan target key performance indicator (KPI) management.
Pada 2020, average collection period (ACP) atas piutang adalah sebesar 78,81 hari dan pada 2021 diharapkan dapat menjadi 54,28 hari sesuai dengan target KPI.