Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga semakin mendekati level US$10.000 per ton seiring dengan kebijakan stimulus sejumlah negara, distribusi vaksin virus corona, dan komitmen peralihan ke sumber energi terbarukan memicu kelanjutan pergerakan harga yang bullish.
Berdasarkan data Bloomberg pada Rabu (28/4/2021), harga tembaga pada London Metal Exchange (LME) sempat menguat hingga ke level US$9.965 per ton, atau level tertingginya sejak Maret 2011 lalu.
Adapun, secara year to date (ytd), harga komoditas yang dijuluki sebagai kompas perekonomian global ini telah menguat sebesar 26,91 persen pada LME. Penguatan ini juga terjadi pada komoditas logam lainnya seperti alumunium dan bijih besi.
Analis BMO Capital Markets Colin Hamilton dalam laporannya mengatakan, penguatan harga tembaga ditopang oleh keterbatasan pasokan serta sentimen permintaan global yang menopang harga dalam jangka pendek.
“Sementara itu, dinamika pertumbuhan global dalam jangka menengah juga ikut menopang minat pasar finansial terhadap komoditas,” jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Di sisi lain, reli harga tersebut dibayangi oleh prospek penurunan pasokan tembaga global. Hal ini terjadi menyusul aksi demonstrasi pekerja pelabuhan di Chile. Sebagai informasi, Chile memasok sekitar seperempat dari total tembaga yang ada di dunia.
Baca Juga
Mereka memprotes langkah Presiden Sebastian Pinera yang menggagalkan rencana Undang-Undang yang memperbolehkan pekerja menarik sepertiga dana pensiunnya lebih awal.
Selain itu, prospek permintaan tembaga dari China dalam jangka pendek juga dikhawatirkan melemah. Pemerintah China dilaporkan berencana untuk mengirimkan cadangan tembaga yang ada ke luar negeri ditengah kembali dibukanya kesempatan ekspor bagi para pedagang untuk pertama kalinya sejak September 2020 lalu.
“Perkembangan ini kemungkinan akan mengurangi jumlah pembelian spekulatif di London dalam jangka pendek,” jelas Wenyu Yao, Senior Commoditie Strategist di ING Bank.