Bisnis.com, JAKARTA — Seiring dengan kondisi pasar global maupun domestik saat ini, aset berbasis saham masih dinilai menarik untuk investasi.
Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan perekonomian dunia dan Indonesia telah menunjukkan pemulihan, tapi market belum bereaksi positif terhadap perbaikan tersebut.
Seperti diketahui, International Monetary Fund (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dibanding proyeksi sebelumnya. pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang sebelumnya diproyeksi hanya sebesar 5,1 persen di tahun 2021, kini menjadi 6,4 persen.
Sementara, proyeksi pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia juga meningkat dari awalnya pada 8,3 persen di tahun 2021 menjadi 8,6 persen di tahun 2021.
Sayangnya, proyeksi tersebut tak serta merta membuat aset investasi untuk bergerak agresif. Budi menyebut ada sejumlah faktor yang memperlambat aset investasi untuk menguat.
Salah satunya pemulihan ekonomi di AS yang ditandai dengan beberapa indikator, seperti kenaikan inflasi, Purchasing Managing Index survey di atas level 50 dan penyesuaian harga bond yield dari 0,7 persen ke 1,8 persen telah memicu kekhawatiran market terhadap potensi penghentian stimulus dari bank sentral The Fed.
Baca Juga
“Market teringat pada peristiwa taper tantrum di tahun 2013. Akan tetapi, kondisi saat ini berbeda dari tahun 2013 lalu,” ungkap Budi dalam publikasinya, seperti dikutip Bisnis, Senin (19/4/2021)
Dia menjelaskan, pada 2013 lalu, Pimpinan The Fed kala itu, Ben Bernanke, mengumumkan bahwa The Fed akan mengurangi pembelian obligasi di masa tertentu.
Hal tersebut menyusul ekonomi AS yang sempat pulih pasca krisis finansial 2008, sehingga memaksa The Fed untuk menggelontorkan stimulus dengan membeli surat utang atau treasury bonds hampir US$ 2 triliun.
Di sisi lain, kala itu di pasar saham Indonesia, dana asing keluar sebesar US$6 miliar sejak 2013. Indonesia juga termasuk ke dalam The Fragile Five, bersama dengan India, Afrika Selatan, Brazil, dan Turki.
“Ini akibat ketergantungan negara terhadap investasi asing dan tingginya defisit transaksi berjalan yang mencapai 3 persen terhadap PDB pada tahun 2013,” kata Budi.
Akan tetapi, Budi melihat jika kondisi Indonesia saat ini jauh dari kerapuhan ekonomi di tahun 2013, terlihat dari current account terhadap GDP (CA/GDP) hanya sebesar 0,45 persen, inflasi terjaga di level 1,37 persen, dan hutang luar negeri terhadap GDP di level 10,71 persen.
Sebagai perbandingan, pada 2013 lalu, CA/GDP mencapai 3 persen, inflasi pada level 4,86 persen, hutang luar negeri terhadap GDP di level 11,53 persen.
“Indonesia juga mempunyai cadangan dollar lebih besar pada tahun ini, yakni sebesar US$137 miliar dibandingkan tahun 2013 sebesar US$107 miliar,” imbuhnya.
Di sisi eksternal, Amerika masih terus menyuntikan stimulus yang masif, sehingga mendorong pemulihan ekonomi negeri Paman Sam tersebut lebih cepat.
Sayangnya, dengan sejumlah indikator ekonomi Indonesia yang cukup kuat, penyaluran kredit dari perbankan masih rendah. Tahun ini, penyaluran kredit perbankan masih minus 2,09 persen dibandingkan penyaluran kredit di 2013 yang hampir mencapai 22 persen.
Hal ini karena eprbankan memilih membeli surat berharga negara (SBN) dibandingkan penyaluran kredit. Saat ini, kepemilikan bank di SBN mencapai Rp1.600 triliun, jauh melebihi asing.
Adapun, Budi menyebut penguatan ekonomi Indonesia masih terbatas karena dana asing yang masuk ke pasar saham masih terbatas dibandingkan investor domestik.
Indonesia juga hanya baru mengamankan pasokan vaksin sekitar 64 persen dari total penduduk, akibat beberapa negara produsen menahan ekspor vaksin untuk mengamankan kebutuhan nasional.
Kepemilikan investor domestik ritel terhadap market tampaknya mendominasi IHSG, dengan kepemilikan retail investor terhadap market mencapai 21 persen dan volume transaksi mencapai 75 persen. Sementara, asing masih belum terlihat aktif di pasar saham.
Kemudian, dari sisi nilai tukar, fundamental rupiah dinilai masih relatif kuat, ditopang dari kenaikan harga komoditas yang kuat dan mengimbangi kenaikan harga impor minyak.
Untuk itu,terkait strategi investasi, PT Bahana TCW Investment Management melihat aset saham berpotensi lebih besar ketimbang pasar obligasi maupun pasar uang.
“Kami melihat saat ini market bereaksi negatif terhadap sentimen positif. Meski demikian, kami melihat bahwa pasar saham akan menguat dengan melihat indikator ISLVE yang kami lihat,” ungkap Budi Hikmat.
Indikator ISLVE (Interest Rate - Sentiment - Valuation - Liquidity - Earning) didasari pada interest rate (suku bunga) yang relatif rendah berpotensi memperkuat daya beli masyarakat dan berpotensi menguatkan saham-saham siklikal seperti saham properti dan otomotif.
“Valuasi IHSG yang cukup murah. Sementara, likuiditas di pasar saham perlahan masuk namun tak kencang. Meski demikian, indikator earning masih belum terlihat menarik, dan akan melihat obligasi korporasi yang direstrukturisasi,” pungkasnya.