Bisnis.com, JAKARTA – Koreksi harga nikel yang tengah terjadi dinilai masih wajar. Prospek harga ke depan pun masih positif seiring dengan sejumlah katalis positif yang menopang komoditas ini
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (4/3/2021) harga nikel terkoreksi 6,7 persen ke posisi US$17.417 per ton pada London Metal Exchange (LME). Harga komoditas ini juga sempat turun hingga 7,8 persen di kisaran US$17.220 per ton, atau penurunan harian terbesar sejak Desember 2016 lalu.
Terkait hal tersebut, Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, koreksi harga yang tengah dialami nikel terbilang wajar mengingat pergerakannya yang baru saja mencatatkan level tertinggi beberapa waktu lalu.
Selain itu, tren penguatan dolar AS juga ikut menekan harga komoditas, termasuk nikel. Sebagai informasi, penguatan mata uang dolar AS akan berimbas negatif untuk komoditas yang menjadi aset lawan dari dolar AS dan sebaliknya.
“Tren koreksi tidak hanya terjadi pada nikel saja. Komoditas lain seperti tembaga, minyak mentah juga sedang memasuki fase koreksi,” katanya saat dihubungi pada Kamis (4/3/2021).
Selain itu, pemicu khusus penurunan harga nikel saat ini adalah prospek kembalinya produksi nikel dari tambang MMC Norilsk Nickel PJSC atau Nornickel. Hal tersebut dinilai akan mengembalikan sebagian pasokan nikel yang sempat tersendat.
Baca Juga
Meski demikian, Wahyu menilai tren koreksi nikel saat ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. Pasalnya, sentimen-sentimen fundamental nikel masih mengarah pada tren bullish.
Ia menjelaskan, salah satu faktor pendukung pergerakan harga dan permintaan nikel adalah prospek nikel sebagai salah satu komoditas utama dalam pembuatan kendaraan listrik.
Saat ini, kenaikan permintaan nikel telah terlihat. Nikel merupakan salah satu bahan baku untuk membuat baterai sebagai salah satu komponen dalam mobil listrik.
Rencana China yang mengembangkan industri kendaraan listrik akan semakin mengerek permintaan nikel di pasar global. Program Made In China 2025 yang dicanangkan oleh pemerintah setempat dinilai akan mendukung harga nikel.
Wahyu menjelaskan, guna merealisasikan mimpi sebagai produsen utama mobil listrik pada 2025 dalam program Made in China 2025, Negeri Panda itu akan memerlukan pasokan nikel dalam jumlah besar sebagai bahan baku sejumlah komponen seperti baterai, konduktor, dan lainnya.
“Rencana China memiliki dampak yang luas bagi industri nikel, karena mayoritas teknologi yang efisien menggunakan komoditas ini dalam jumlah yang besar,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam jangka waktu menengah, peluang reli harga nikel masih cukup terbuka. Wahyu memprediksi harga nikel akan berada di kisaran US$14.000 hingga US$21.000 per ton.
Secara terpisah, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Andi Wibowo Gunawan dalam risetnya mengatakan, sentimen kenaikan pasokan nikel akan mempengaruhi pergerakan harga dalam jangka pendek. Ia memprediksi, jumlah stok nikel di gudang-gudang LME akan naik dari catatan pekan sebelumnya sebanyak 251.130 ton.
Selain itu, kenaikan jumlah stok tembaga global juga akan menekan harga nikel. Menurutnya, jumlah stok tembaga LME juga akan naik dari posisi 26 Februari lalu di angka 76.225 ton.
“Naiknya jumlah persediaan tembaga akan menimbulkan risiko downside untuk harga nikel, karena harga kedua komoditas memiliki korelasi yang kuat satu antara satu sama lain,” ujarnya dikutip dari laporan tersebut.
Di sisi lain, jumlah produksi baja tahan karat (stainless steel) yang menggunakan nikel sebagai salah satu bahan bakunya akan membantu menekan sentimen negatif yang membayangi pergerakan harga. Menurut Andy, meski angka output baja China menurun, jumlah tersebut dinilai masih cukup positif untuk pergerakan harga nikel.
“Secara keseluruhan, kami melihat harga nikel akan bergerak fluktuatif dengan sentimen negatif dan positif yang sama-sama kuat,” jelasnya.