Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak dunia mencatatkan kenaikan sebesar 18 persen sepanjang Februari 2021 seiring dengan berkurangnya pasokan global dan kebijakan OPEC+ yang akomodatif.
Kendati demikian, reli harga terancam oleh penguatan nilai dolar AS dan kenaikan yield obligasi AS. Pasar juga akan mencermati hasil pertemuan OPEC+ pada pekan depan.
Dilansir dari Bloomberg pada Minggu (23/2/2021), Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak bulan April ditutup turun US$2,03 pada level US$61,50 per barel di New York Mercantile Exchange. Meski demikian, selama sepekan harga minyak masih tercatat menguat 3,8 persen.
Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak April 2021 juga terkoreksi 66 sen dan ditutup pada posisi US$66,13 per barel di ICE Futures Europe. Adapun minyak Brent telah menguat 5,1 persen sepanjang pekan lalu
Harga minyak acuan di New York tercatat anjlok 3,2 persen pada penutupan perdagangan Jumat (26/2/2021) lalu seiring dengan penguatan dolar AS yang mengurangi daya tarik aset komoditas. Meski demikian, harga minyak AS berhasil mencatatkan kenaikan di kisaran 18 persen sepanjang Februari lalu.
Kenaikan yang terjadi sepanjang Februari didukung oleh berkurangnya stok minyak global dan mulai kembalinya permintaan dari beberapa wilayah. Data dari Badan Administrasi Energi AS (Energy Information Administration/EIA) mencatat, jumlah produksi minyak mentah AS menurun untuk pertama kali selama empat tahun terakhir.
Baca Juga
Output minyak harian AS sepanjang 2020 lalu tercatat sebesar 11,313 juta barel per hari, atau turun 8 persen dibandingkan produksi tahun sebelumnya. Jumlah produksi tersebut merupakan yang terendah sejak 2018 lalu dan secara year-on-year (yoy), koreksi tersebut adalah yang terbesar sejak 1949.
Pada tahun lalu, motor produksi minyak serpih (shale oil) Negeri Paman Sam, Texas, mencatat penurunan output sebesar 200 ribu barel per hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adapun, Produksi di Teluk Meksiko juga turun dari 1,896 juta barel per hari menjadi 1,654 juta barel per hari pada 2020.
Managing Member Tyche Capital Advisors LLC., Tariq Zahir mengatakan, pergerakan harga minyak saat ini memiliki risiko downside yang lebih banyak dibandingkan dengan pekan-pekan sebelumnya. Menurutnya, untuk menjaga tren kenaikan harga minyak, tingkat permintaan perlu dipulihkan dengan segera.
“Untuk terus menguat, permintaan terhadap minyak harus pulih secara signifikan,” katanya dikutip dari Bloomberg pada Minggu (28/2/2021).
Adapun, harga minyak mentah juga mencatatkan kenaikan terbesar secara year-to-date untuk periode Februari dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu penopang tren positif ini ialah kebijakan pemangkasan produksi harian dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (The Organization of Petroleum Exporting Countries./OPEC+) yang ikut membantu berkurangnya persediaan minyak dunia
Selain itu, harga minyak turut dibantu oleh cuaca dingin ekstrim yang dialami oleh AS. Hal tersebut mengakibatkan jalur pipa minyak dan infrastruktur kilang minyak terkait di Negeri Paman Sam mengalami pembekuan yang menghambat produksi.
Analis JPMorgan Chase & Co., Natasha Kaneva mengatakan, total output minyak dari AS berkurang sebanyak 100.000 barel per hari akibat cuaca dingin tersebut. Dia memperkirakan kelangkaan pasokan minyak dunia kemungkinan akan memburuk selama beberapa bulan mendatang seiring dengan proses pemeliharaan pada fasilitas kilang minyak di Laut Utara.
Dia memprediksi harga minyak mentah Brent kemungkinan akan berada di kisaran US$64 per barel, atau lebih tinggi US$3 dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya. Pada 2022, harga minyak dapat mencapai level US$72 per barel.
Kaneva menuturkan, harga minyak berjangka untuk kontrak pengiriman waktu tertentu (prompt futures) terbilang cukup tinggi terhadap kondisi fundamental yang ada saat ini.
“Menurut kami, reli harga minyak akan terhenti selama beberapa waktu ke depan,” ujarnya.
Di sisi lain, kenaikan imbal hasil US Treasury pada Kamis pekan lalu mengindikasikan kenaikan inflasi akan memicu berkurangnya dukungan kebijakan moneter yang sebelumnya membantu reli harga komoditas, termasuk minyak. Kebijakan moneter yang kurang akomodatif dikhawatirkan menimbulkan efek riak pada seluruh pasar komoditas.
Head of Futures Division Mizuho Securities, Bob Yawger, mengatakan saat ini harga minyak dunia tengah berada di wilayah overbought yang sangat dalam. Sehingga, pelemahan diprediksi akan terjadi salam waktu dekat.
“Investor juga masih mengkhawatirkan adanya kenaikan tingkat suku bunga yang akan berefek negatif ke komoditas seperti minyak,” tuturnya.
Sementara itu, para pelaku pasar akan mencermati pertemuan OPEC+ pada pekan depan yang akan membahas tingkat produksi minyak dunia. Salah satu negara anggota OPEC+, Rusia, mencatatkan produksi minyak dibawah target yang telah disepakati pada Februari 2020.
Kinerja produksi minyak dari Rusia terjadi ditengah keinginan negara tersebut untuk menambah output minyak harian untuk bulan-bulan mendatang.
Direktur Tradition Enegry, Gary Cunningham menuturkan, sentimen pengurangan kuota produksi OPEC+ akan mempengaruhi harga minyak secara signifikan. Menurutnya, kelangkaan minyak global akan amat bergantung pada hasil pertemuan OPEC+ pada pekan ini.
“Selain itu, pasokan minyak dunia juga akan ditentukan oleh langkah AS untuk mengangkat atau tetap memberlakukan sanksi kepada Iran,” jelasnya.
Sementara itu, Head of Commodity Research National Australia Bank, Lachlan Shaw mengatakan, pelaku pasar saat ini memperkirakan OPEC+ akan menambah produksi minyak harian ke pasar global. Hal ini terjadi seiring dengan tren kenaikan harga dan ekspektasi terhadap pemulihan permintaan.
“Ini adalah pertaruhan yang besar untuk OPEC+, karena harga minyak telah pulih kembali pada level sebelum terjadinya pandemi. Selain itu, jumlah persediaan minyak dunia juga menunjukkan tren pengurangan, serta proses vaksinasi yang terus berjalan di seluruh dunia,” ujarnya.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, pergerakan harga minyak ditopang oleh optimisme pelaku pasar terhadap vaksin virus Corona. Proses vaksinasi yang tengah berjalan diyakini akan mempercepat pemulihan ekonomi global yang turut berimbas pada permintaan minyak dunia.
Ibrahim melanjutkan, kenaikan harga minyak juga disebabkan oleh terhambatnya produksi minyak dari AS akibat cuaca dingin ekstrim pada pekan lalu. Dia memaparkan, cuaca dingin ekstrim tersebut menyebabkan pembekuan pada kilang penyimpanan minyak di Texas, AS.
Hal tersebut, ujarnya, berdampak pada berkurangnya produksi minyak harian dari Negeri Paman Sam tersebut. Cuaca ekstrim juga berimbas pada kerusakan peralatan-peralatan di kilang minyak itu.
Ibrahim melanjutkan, peluang berlanjutnya kenaikan harga minyak masih terbuka hingga paruh pertama tahun ini. Hal ini terjadi seiring dengan proses vaksinasi virus corona yang terus berjalan di seluruh dunia dan diharapkan akan memperbaiki pertumbuhan ekonomi global.
"Harga minyak dunia dapat mencapai kisaran US$65 per barel di kuartal I/2021, sedangkan hingga semester I/2021, bisa mendekati level US$69 per barel,” pungkasnya.
Di sisi lain, Analis Goldman Sachs, Damien Courvalin dalam risetnya menyatakan, reli harga minyak akan terjadi lebih cepat dan lebih tinggi dari perkiaraan sebelumnya. Hal ini terjadi seiring dengan pemulihan permintaan minyak akan melebihi respons kebijakan penambahan pasokan dari OPEC+.
Courvalin memprediksi, tingkat konsumsi minyak dunia akan kembali ke level sebelum pandemi pada Juli 2021. Sementara itu, jumlah pasokan dari negara-negara utama produsen minyak akan inelastis karena kenaikan harga.
Dia melanjutkan, kembalinya keseimbangan di pasar minyak global telah terjadi pada musim dingin tahun ini yang sebelumnya diprediksi akan menghambat reli minyak. Hal tersebut kemudian akan diikuti oleh penambahan produksi minyak harian dari OPEC+ pada musim semi ini.
"Penambahan output dari OPEC+ menurut kami akan berada dibawah tingkat pemulihan permintaan global," jelasnya dikutip dari Bloomberg.
Selain itu, ia mengatakan saat ini tidak ada penambahan aktivitas produksi minyak dari negara-negara non anggota OPEC+. Hal ini berpotensi menciptakan shortfall pasokan minyak sebesar 900.000 barel per hari pada tahun ini.
Lebih lanjut, Courvalin mengatakan reli harga minyak juga didukung oleh sikap investor yang memasang posisi harga minyak untuk skenario reflationary trade.
Seiring dengan hal tersebut, Courvalin memprediksi harga minyak dunia dapat menembus US$70 per barel pada kuartal II/2021, atau lebih tinggi US$10 dari perkiraan sebelumnya.
"Sedangkan, pada kuartal selanjutnya, harga minyak dunia dapat menembus US$75 per barel," ujarnya.