Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah membukukan kenaikan mingguan terbesar sejak akhir September, seiring dengan rencana Arab Saudi memangkas produksi, yang berbuntut terjadinya lonjakan pembelian minyak mentah fisik.
Seperti dilansir dari Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) di bursa New York Merchantile Exchange (NYMEX) naik US$3,72 ke level US$52,24 per barel pekan ini, sedangkan harga minyak Brent tembus US$55,99 per barel, tertinggi sejak Februari 2020 lalu.
EVP Confluence Investment Management di St. Louis Bill O’Grady mengatakan komitmen Arab Saudi untuk memangkas produksi sebesar 1 juta barel per hari pada Februari dan Maret tahun ini membuat prospek pasokan mengetat lebih cepat dari yang diantisipasi.
Di sisi lain, prospek stimulus tambahan di bawah pemerintahan Presiden Terpilih Amerika Serikat Joe Biden mendorong kenaikan pasar yang lebih luas.
O’Grady menilai sikap Arab Saudi yang tiba-tiba memangkas produksi tampaknya telah mengejutkan beberapa pembeli Asia. Hal itu membuat permintaan minyak mentah AS untuk ekspor ke Asia meningkat pesat pekan ini.
Tercatat, perusahaan penyulingan minyak terbesar di China, Unipec, telah membeli kargo minyak mentah Laut Utara ke delapan dengan rentang yang ditetapkan oleh S&P Global Platts pekan lalu.
Baca Juga
“Keputusan Saudi adalah masalah besar dan itu menjadi dasar penetapan harga. Yang jelas, saat ini mempertahankan harga minyak adalah yang terpenting dan mereka bersedia membiarkan orang lain mengambil keuntungan untuk mencapai itu,” kata O’Grady seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (10/1/2021)
Pergerakan minyak Brent yang saat ini berada di atas level US$55 per barel menjadi patokan setelah pergerakan minyak yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir, apalagi mengingat minyak mentah menjadi komoditas favorit untuk bertaruh soal vaksin korona dan refleksi global.
Komitmen Arab Saudi juga telah membuat para analis memikirkan kembali proyeksi mereka untuk pemulihan harga minyak mentah. Citigroup Inc. menaikkan perkiraan harga akhir pekan lalu dengan asumsi tindakan Kerajaan Arab akan mempercepat penarikan persediaan.
Sementara itu, Citigroup Inc juga menyebut rebalancing indeks komoditas tahunan dapat menjadi faktor pemicu lain, dengan kemungkinan US$9 miliar kontrak minyak akan dibeli selama lima hari perdagangan sejak Jumat.
Commodities Strategist Rabobank Ryan Fitzmaurice menambahkan, sebagian besar pembelian indeks komoditas tampak telah diatur sebelumnya sehingga tidak mengejutkan jika pasa melihat aksi harga kontra-intuitif terjadi pada pekan ini.
"Tapi ke depannya kami perkirakan pasar komoditas masih akan menarik lebih banyak perhatian, bahkan setelah rebalancing terjadi mengingat dolar AS yang, masih lemah dan meningkatnya kekhawatiran inflasi membawa kelas aset alternatif kembali populer,” tutupnya.