Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) meminta bursa berjangka di Indonesia untuk mengembangkan perdagangan multilateral pada 2021. Sejumlah upaya, mulai dari pajak khusus hingga kredit karbon telah disiapkan guna mencapai tujuan tersebut.
Kepala Bappebti Sidharta Utama mengatakan, pada tahun ini salah satu fokus utama adalah mengembangkan pertumbuhan perdagangan multilateral. Pasalnya, ia menilai sejauh ini total transaksi perdagangan berjangka komoditi multilateral masih kalah jauh dibandingkan dengan transaksi bilateral.
"Di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ), nilai transaksi bilateral sudah mencapai Rp90 triliun, sementara untuk multilateral di kisaran Rp3 triliun. Artinya, pasar ini masih punya potensi besar untuk tumbuh," kata Sidharta dalam kunjungannya ke Kantor Jakarta Futures Exchange (JFX) atau Bursa Berjangka Jakarta pada Senin (4/1/2021).
Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah menetapkan sistem pajak khusus perdagangan berjangka. Ia mengatakan, pihak Bappebti telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan selama setahun terakhir guna menentukan pajak untuk perdagangan berjangka komoditi.
Menurutnya, pengenaan pajak untuk perdagangan berjangka komoditi akan semakin meningkatkan minat investor di masa depan. Hal tersebut juga secara langsung meningkatkan kepastian untuk pelaku pasar yang diharapkan berimbas pada naiknya transaksi dan jumlah investor.
Pihaknya berharap, ketentuan pajak untuk perdagangan berjangka dapat diselesaikan pada tahun ini. Meski demikian, pihaknya belum dapat memastikan besaran pajak yang akan diberikan untuk perdagangan berjangka.
"Untuk jangka panjang, kami harapkan transaksi multilateral ini akan terus naik signifikan, mengingat besarnya potensial pada pasar ini," lanjutnya.
Di sisi lain, Bappebti juga akan terus memantau bursa berjangka dari sisi regulasinya. Ia meminta agar pasar berjangka semakin meningkatkan perlindungan terhadap investor seiring dengan menjamurnya lembaga perdagangan berjangka tanpa izin resmi Bappebti.
Sidharta melanjutkan, pihaknya juga akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait untuk meningkatkan literasi masyarakat terhadap pasar berjangka. Dengan demikian, masyarakat diharapkan semakin mengetahui seluk beluk perdagangan berjangka dan tertarik berinvestasi.
Selain itu, Bappebti juga akan mendorong pelaku pasar seperti BBJ untuk menjalin aliansi dengan bursa berjangka di luar negeri. Hal tersebut juga dinilai akan meningkatkan kepercayaan pasar terhadap bursa berjangka Indonesia.
Sementara itu, Direktur Utama JFX Stephanus Paulus Lumintang mengatakan, pertumbuhan yang dicapai JFX pada 2020 menjadi bekal untuk mengejar target transaksi tahun depan yang naik ke posisi 11,1 juta lot.
Semula, JFX menargetkan transaksi 10 juta lot pada 2021, terdiri atas 2 juta lot transaksi multilateral dan 8 juta transaksi bilateral. Namun, Bappebti meminta JFX untuk menaikkan target menjadi 11,1 juta lot, terdiri atas 3,1 juta lot multilateral dan 8 juta lot bilateral.
Untuk mengejar target tersebut, Paulus menyiapkan strategi kerja sama dengan bursa luar negeri untuk meningkatkan volume transaksi multilateral. Dia mengaku tengah berdiskusi dengan beberapa bursa Asia.
"Salah satu rencana aliansi dengan bursa internasional dapat kami realisasikan pada kuartal I/2021 ini," katanya.
Secara terpisah, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX) juga akan mengembangkan kontrak multilateral pada 2021. Direktur Utama Indonesia Clearing House (ICH) Nursalam menyatakan, kehadiran instrumen derivatif keuangan dari bursa derivatif ke dalam sistem keuangan negara akan memberikan kelengkapan infrastruktur dari pasar keuangan yang ada di dalam negeri.
Salah satu produk yang akan didorong oleh ICDX pada tahun depan adalah perdagangan kredit karbon, baik di pasar fisik maupun berjangka. Nursalam menjelaskan, Indonesia memiliki potensi yang besar dan dapat memimpin dalam penyelenggaraan perdagangan kredit karbon.
Ia mengatakan, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam menyumbang 75 persen hingga 80 persen kredit karbon dunia. Karbon kredit tersebut diantaranya berasal dari hutan mangrove, lahan gambut, padang lamun, dan batu karang.
"Dilihat dari nilainya, potensi perdagangan karbon mampu menyumbang lebih dari US$150 miliar untuk ekonomi Indonesia," jelasnya.