Bisnis.com, JAKARTA – Wacana pemberlakuan bea materai untuk transaksi surat berharga di bursa mendapat respons keras dari kalangan investor ritel di tanah air.
Nares, seorang investor pemula yang baru memulai karirnya selama satu tahun di sebuah perusahaan swasta mengaku dirinya sangat resah dengan wacana pemberlakuan bea materai tersebut.
“Ya masa gue cuma beli saham SIDO satu lot doang Rp79.000, gue mesti ngeluarin duit Rp90 ribu. Seenggaknya, buat balik modal gue harus nunggu cuan 14 persen dulu gitu?” tuturnya geram.
Keresehan yang diutarakan Nares sebagai investor ritel juga sebenarnya dirasakan oleh perusahaan efek.
Sekuritas berbondong-bondong meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan untuk mengkaji ulang atau setidaknya memberikan relaksasi pemberlakuan bea meterai untuk transaksi surat berharga di bursa.
Pasalnya, hal ini dianggap akan memberatkan investor ritel yang berinvestasi pada instrumen saham dengan frekuensi transaksi yang tinggi.
Baca Juga
Presiden Direktur RHB Sekuritas Iwanho mengatakan pihaknya dan Asosiasi Perusahaan Efek juga sudah memberikan masukan mengenai skema aturan bea meterai yang berlaku untuk transaksi bursa.
“Hal ini bisa berdampak ke investor ritel, yang so far terbukti menjadi salah satu penyokong indeks IHSG kita,” ungkapnya kepada Bisnis.com, Senin (21/12/2020).
Sepemahamannya, setiap trade confirmation (TC) tidak peduli berapapun jumlahnya akan terkena bea meterai Rp10 ribu yang dinilai akan memberatkan investor ritel.
“So, mungkin jauh lebih baik bila dalam hal ini pemerintah melalui badan yang terkait bisa meninjau kembali,” sambungnya.
Sementara itu, Presiden Director Sucor Sekuritas Bernadus Wijaya mengatakan bahwa pihaknya belum bisa banyak berkomentar mengingat petunjuk teknis belum serta merta dikeluarkan.
“Saya menunggu petunjuk teknis lebih lanjut dari DJP dulu,” tuturnya kepada Bisnis.com, Senin (21/2/2020).
Dihubungi terpisah, Kepala Riset NH Korindo Sekuritas Indonesia Anggaraksa Arismunandar mengatakan pemberlakuan bea materai pada setiap TC memang akan terasa cukup memberatkan bagi investor ritel yang rutin melakukan trading harian dengan nominal yang tidak besar.
“Kami melihat ada kemungkinan terjadi skenario seperti: satu, investor terpaksa merubah strategi dari harian ke jangka waktu yang lebih panjang atau dua, investor yang tadinya aktif bertransaksi di beberapa sekuritas jadi mengurangi menjadi satu sampai dua (sekuritas) saja,” jelasnya.
Namun, hingga kini, pihaknya masih berpegang pada pernyataan DJP bahwa perumusan aturan ini masih akan dibahas lebih lanjut.
“Kami percaya bahwa DJP dan otoritas bursa tentu akan mempertimbangkan masukan dari pelaku pasar,” sambungnya.
Apalagi, lanjutnya, saat ini minat investor sedang sangat tinggi yang ditandai dengan pertumbuhan basis investor ritel serta nilai transaksi harian yang meningkat.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa sesuai dengan Undang-undang No. 10/2020 tentang bea meterai, yang salah substansinya terkait pengenaan bea meterai untuk dokumen elektronik, maka dokumen TC dipastikan akan dikenakan bea meterai Rp10.000.
Namun, pengenaan tersebut bukan per transaksi saham dan tidak berlaku untuk seluruh dokumen TC. Sehingga, pemerintah akan mempertimbangkan batas kewajaran nilai dokumen TC tersebut.
Dia menyampaikan pengenaan bea meterai untuk dokumen elektronik belum akan berlaku pada 1 Januari 2021. pemerintah sedang menyiapkan infrastruktur meterai elektronik, di antaranya bentuk meterai, cara pendistribusian, hingga cara penjualannya.
Kemenkeu saat ini tengah menginstruksikan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penyusunan peraturan atas bea meterai ini, termasuk skema pengenaan bea meterai atas dokumen elektronik yang menggunakan meterai elektronik.