Bisnis.com, JAKARTA -- Kinerja Surat Utang Negara (SUN) sepanjang tahun berjalan mencapai 12,5% (per 25 November), jauh di atas kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi 9,8%. Momentum kinerja SUN ini melanjutkan kinerja 2019 di mana return investasi SUN sebesar 13,8%, melebihi kinerja IHSG yang sekitar 4,2%.
Kinerja SUN yang superior di saat ekonomi resesi menjadikannya sebagai pilihan investasi favorit saat ini. Yield SUN 10 tahun saat ini 6,2%, di bawah rata-rata yield era 2012—2020 yang sekitar 7,3%. Menghitung perkiraan return investasi SUN sangat sederhana. Bila imbal hasil SUN tenor 10 tahun saat ini 6,2% dengan pajak 15%, imbal hasil bersih yang investor dapatkan dalam jangka panjang (sampai jatuh tempo) hanya 5,3%.
Kenaikan harga SUN (capital gain) yang besar sepanjang 2019—2020, membuat penasihat finansial mengiming-iming return investasi SUN minimal 8% untuk 2021. Perlu diperhatikan, capital gain SUN pada 2019—2020 diperoleh setelah harga SUN mengalami koreksi tajam sepanjang 2018. Hal serupa di periode 2014—2017 di mana rata-rata return investasi SUN yang tinggi adalah ‘hasil kejatuhan’ harga SUN pada 2013.
Karena yield SUN saat ini rendah (6,2%), investor konservatif sebaiknya mengasumsikan harga SUN stagnan di 2021. Bahkan, investor yang skeptis akan mempertimbangkan koreksi harga ekstrem SUN seperti terjadi pada 2013, 2015, dan 2018.
Asumsi potensi koreksi harga SUN (kenaikan yield SUN) ini mengingat kondisi rasio beban utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus naik. Penguatan nilai tukar rupiah dan rendahnya inflasi sering dianggap sebagai indikator pendukung bullish investasi SUN. Masalahnya, penguatan rupiah sangat tergantung arus modal portofolio SUN, yang tertarik karena yield SUN tinggi. Saat yield SUN sudah rendah, seperti di awal 2013 dan 2018, setiap sentimen negatif dapat memicu arus modal keluar dengan cepat.
Adapun, inflasi rendah saat ini dikarenakan daya beli masyarakat yang jatuh, bukan karena peningkatan produktivitas. Jadi inflasi rendah ini indikasi kinerja ekonomi menurun, bukan stabilisasi ekonomi makro. Stabilnya pasar finansial di saat ekonomi makro memburuk terjadi karena injeksi likuiditas ke pasar oleh bank sentral. Pemulihan harga SUN (yield turun) terjadi berhubung investor lebih berani mengambil risiko, karena ketersediaan likuiditas (liquidity driven rally), bukan rally akibat membaiknya kondisi ekonomi makro (fundamental driven rally).
Misalnya, the Fed Amerika, European Central Bank, dan Bank of Japan melakukan quantitative easing (QE) sehingga menambah likuiditas ke sistem keuangan secara esktrem. Pada November 2020, rasio aset bank sentral terhadap PDB di Amerika, Uni Eropa, dan Jepang masing-masing mencapai 33%, 23%, dan 127%, naik tajam dibandingkan akhir 2019 yang masing-masing sekitar 19%, 15%, dan 104%.
Sebagai dampak QE, yield Treasury tenor 10 tahun di Amerika, Jerman, dan Jepang turun drastis ke sekitar 0,8%, negatif 0,6%, dan 0,02%. Imbal hasil Treasury di negara maju yang sangat rendah tersebut memicu arus modal masuk ke berbagai emerging market dengan imbal hasil relatif tinggi seperti Indonesia.
Pada saat bersamaan, Bank Indonesia (BI) dan bank komersial melakukan pembelian SUN secara agresif sepanjang tahun, masing-masing Rp472 triliun dan Rp362 triliun (per 19 November). Pembelian SUN oleh BI adalah bagian dari skema burden sharing bersama dengan pemerintah.
Di sektor perbankan, meningkatnya simpanan dana pihak ketiga kontras dengan lesunya penyaluran kredit. Karena penyaluran kredit stagnan, bank komersial memilih menyimpan dana di SUN yang aman, sehingga membantu penurunan dan stabilisasi imbal hasil SUN.
Apakah kondisi ekonomi ke depan akan memburuk atau membaik, akibatnya pada skenario investasi SUN sama-sama negatif. Bila ekonomi Indonesia semakin menurun kinerjanya, sehingga beban utang pemerintah naik di atas 40% PDB, imbal hasil SUN cenderung akan naik.
Sebaliknya, bila vaksin Covid-19 tersedia dan harapan pemulihan ekonomi terjadi, investor global akan mengurangi investasi safe haven asset seperti US Treasury, sehingga terjadi siklus kenaikan yield global. Risiko kenaikan yield US Treasury potensial memicu arus modal keluar dari SUN Indonesia. Dan bila ekonomi Indonesia pulih mengikuti skenario pemulihan ekonomi global, bisnis perbankan kembali ekspansi, sehingga permintaan SUN menurun dan imbal hasil SUN juga potensial naik.
Saat banjir likuiditas, tidak ada investor yang peduli dengan kondisi fundamental ekonomi. Apalagi bila euforia dan momentum harga terus mendukung sikap spekulatif investor.
Sebagaimana Chuck Prince, mantan CEO Citigroup, pernah menyatakan, “When the music stops, in terms of liquidity, things will be complicated. But as long as the music is playing, you’ve got to get up and dance. We’re still dancing.” (Financial Time, 7 Juli 2007).
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (2/12/2020)