Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi dan saham di kawasan Asia dinilai memiliki momentum positif di tengah tekanan inflasi global dan perang dagang.
Senior Portfolio Manager and Head of Multi-Asset Solutions Asia, Luke Browne, mengatakan perang dagang dan pergeseran prioritas fiskal telah membebani sektor industri, pasar tenaga kerja, dan konsumsi di Amerika Serikat (AS).
Kondisi tersebut mendorong bank sentral AS untuk mempertahankan bias dovish dan pasar memperkirakan suku bunga dapat turun ke level 3,5% pada pertengahan 2026.
"Dalam pandangan kami, pembelokan arah kebijakan The Fed masih tetap utuh, tetapi kecepatan dan skala penurunan suku bunga akan bergantung pada daya tahan pertumbuhan AS, tren pertumbuhan lapangan kerja, dan perkembangan kondisi perdagangan," kata Browne dalam keterangannya, Jumat (11/7/2025).
Di belahan dunia lain, lanjutnya, pelemahan sektor manufaktur Eropa sudah mencapai level terendahnya. Namun pertumbuhannya masih tersedat, dan Bank Sentral Eropa sudah menuju fase akhir siklus pelonggaran.
Sebaliknya, Jepang memasuki siklus investasi baru didorong oleh inflasi upah dan reformasi struktural, meskipun memasuki paruh kedua siklus tersebut terlihat mulai melambat.
Baca Juga
Sementara itu, Head of Asia ex-Japan Fixed Income, Murray Collis, berpendapat bahwa momentum positif pendapatan tetap Asia terus berlanjut sepanjang tahun ini, dengan obligasi lokal yang berkinerja lebih baik karena pelemahan dolar AS.
"Di pasar domestik Asia, secara selektif kami melihat adanya ruang penurunan suku bunga untuk memberikan dorongan pertumbuhan ekonomi akibat dampak tarif, seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina, dan penurunan ini akan mendorong kinerja obligasi domestik di negara-negara tersebut," katanya.
Sementara itu, instrumen utang Asia dalam mata uang dolar AS akan terus menarik bagi investor karena imbal hasil yang atraktif dan durasi yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
"Pendapatan tetap Asia siap meraih momentum positif di paruh pertama 2025 untuk membukukan kinerja tahunan yang menarik bagi para investor," ujarnya.
Di sisi lain, Head of Emerging Market Equities, Co-Head, Senior Portfolio Manager, Emerging Markets Equity, Charlie Dutton, tetap optimis terhadap prospek jangka panjang Asia.
Dia melihat adanya dorongan kuat sektor terkait AI, konsumsi, dan layanan kesehatan, di samping tren makro seperti disinflasi kawasan, sikap dovish bank sentral, dan mesin pertumbuhan yang terdiversifikasi di China, India, dan Asean.
Di daratan utama China, lanjutnya, fokus telah bergeser ke arah transformasi struktural. Ini mencakup percepatan AI lokal, peningkatan belanja fiskal hingga 4% dari PDB, dan perluasan hubungan perdagangan dengan Asean.
"Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, dan Malaysia diuntungkan oleh inflasi yang lebih rendah, penurunan suku bunga, dan penataan ulang rantai pasokan. Dengan populasi yang muda, infrastruktur yang membaik, dan momentum reformasi, Asean menarik investasi asing dan mendorong permintaan domestik," tuturnya.