Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah faktor menjadikan reksa dana indeks dan exchange trade fund (ETF) tetap menarik bagi investor meski sepanjang tahun berjalan masih mencetak kinerja negatif.
Berdasarkan data Infovesta Utama, dari 44 produk ETF berbasis saham dan 32 reksa dana indeks yang terdaftar seluruhnya kompak mencatatkan kinerja negatif sepanjang tahun berjalan.
Sebagai perbandingan, indeks harga saham gabungan (IHSG) telah terkoreksi 18,62 persen sepanjang tahun berjalan (year to date) hingga 19 Oktober 2020. Begitu pula dengan indeks LQ45 dan indeks IDX30 yang masing-masing tercatat turun 22,08 persen dan 22,52 persen.
Begitu pula secara dana kelolaan, hingga akhir Q3/2020 nilai aktiva bersih reksa dana indeks dan ETF tercatat menurun yakni dari Rp8,74 triliun menjadi Rp7,68 triliun untuk reksa dana indeks dan dari Rp14,19 triliun menjadi Rp13,34 triliun untuk ETF.
Sebaliknya, dalam periode yang sama, unit penyertaan reksa dana indeks tercatat 8,2 miliar unit sedangkan per akhir September menjadi 9,8 miliar. Kemudian, unit penyertaan ETF naik dari 19 miliar pada Desember 2020 menjadi 22,4 miliar pada akhir September 2020.
Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan kenaikan unit penyertaan di kala pasar bergejolak menunjukkan minat investor terhadap reksa dana indeks dan ETF masih tinggi dan masih terus membeli produk keduanya.
Baca Juga
Adapun, terkait pertumbuhan dana kelolaan yang tak sejalan dengan penambahan unit penyertaan, Wawan menyebut hal itu lebih dikarenakan penyusutan nilai aset dasar akibat koreksi pasar yang terjadi.
“Dana kelolaan itu lebih karena aset turun. Akhir September itu unitnya naik semua, jadi artinya investor tetep pada beli,” ujar Wawan kepada Bisnis, Selasa (20/10/2020)
Dia menuturkan, reksa dana indeks dan ETF memiliki sejumlah daya tarik yang membuat minat masyarakat terhadap kedua jenis reksa dana ini terus naik.
Salah satunya adalah kinerja reksa dana indeks dan ETF yang lebih terukur dibandingkan reksa dana jenis lainnya. Pasalnya, kedua reksa dana ini jauh lebih transparan dalam hal alokasi portofolio aset.
“Kalau indeks dan ETF kan mereka bisa tahu, pasti dibelikan untuk saham-saham itu saja yang ada di dalam indeks acuannya, jadi lebih mudah juga memperkirakan kinerjanya,” ungkap Wawan.
Secara kinerja reksa dana indeks dan ETF dinilai masih prospektif karena memiliki potensi rebound lebih tinggi jika pasar pulih sepenuhnya. Pasalnya, mayoritas reksa dana indeks dan ETF pasti memiliki saham-saham jagoan dalam portofolionya.
“Biasanya ketika pasar rebound yang menggerakkan itu saham-saham bluechip, saham-saham big caps. Dan biasanya saham-saham itu pasti top ten di ETF dan indeks,” imbuhnya.
Kemudian, reksa dana indeks dan ETF juga memiliki biaya pengelolaan dan biaya manajemen yang lebih rendah dibandingkan reksa dana jenis lain, karena keduanya merupakan reksa dana pasif.
“Kinerja ETF dan indeks itu kalaupun dia kinerjanya setara dengan yang konvensional, tetap bisa lebih tinggi imbal hasilnya karena fee-nya lebih murah. Coba dibandingkan misalnya isinya sama persis, kalau didiamkan tidak ditrading atau apapun, pasti lebih tinggi,” tutur Wawan.