Bisnis.com, JAKARTA – Penerbitan obligasi hijau atau green bond dinilai sangat prospektif seiring naiknya permintaan yang melampaui pasokan.
Asean Program Manager di Climate Bonds Initiative, Cedric Rimaud, mengatakan bahwa saat ini laju permintaan green bond telah melebihi pasokan yang ada. Hal itu terjadi seiring dengan semakin banyak investor global yang lebih memilih berinvestasi di aset-aset yang lebih ramah lingkungan.
Padahal, menurut dia, obligor korporasi di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat memperoleh imbal hasil yang lebih rendah hingga 7 basis poin jika menerbitkan green bond.
Bahkan, imbal hasil bisa lebih rendah menjadi 15 basis poin jika green bond itu disertifikasi oleh Climate Bonds Initiative (CBI), sebuah organisasi nirlaba yang berupaya memobilisasi obligasi untuk solusi perubahan iklim.
Untuk diketahui, Green bond adalah efek bersifat utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan (KUBL).
KUBL tersebut misalnya di sektor energi terbarukan atau efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, green building, konservasi alam, pengendalian polusi dan adaptasi perubahan iklim, transportasi ramah lingkungan, dan aktivitas bisnis lainnya yang berwawasan lingkungan.
“Adapun, pertumbuhan permintaan tercermin dari investor terbesar dunia, termasuk dana pensiun negara Jepang dan industri pensiun Denmark senilai US$450 miliar, yang lebih memilih untuk menggelontorkan lebih banyak uang untuk investasi yang lebih hijau,” ujar Rimaud seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (15/10/2020).
Terlepas dari hal itu, Dia menjelaskan bahwa semakin banyak obligor di Asia Tenggara, seperti Bank of the Philippine Islands dan Pemerintah Indonesia, memilih untuk menjual green bond baru-baru ini.
Menurut Rimaud, surat utang semacam itu dapat membantu kawasan tersebut mendanai kebutuhan infrastrukturnya, yang Asian Development Bank perkirakan mencapai US$2,8 triliun. Hal itu pun seiring dengan munculnya proyek transportasi yang lebih hemat energi seperti light railways di dua negara itu.
Dengan demikian, CBI pun memprediksi penerbitan green bond secara global dapat mencapai US$350 miliar hingga US$400 miliar pada tahun depan. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penerbitan green bond global tahun ini yang sudah mencapai US$147 miliar.
Terbaru, Star Energy Geothermal (Salak-Darajat) atau SEGSD anak usaha PT Barito PAcific Tbk. (BRPT) akan menerbitkan obligasi valas hingga US$1,11 miliar yang akan terbagi menjadi dua tranche.
Adapun seri A senilai US$320 juta dengan kupon sebesar 3,25 persen berjangka waktu 8,5 tahun yang akan jatuh tempo pada bulan April 2029.
Sementara itu, seri B senilai US$790 juta dengan kupon sebesar 4,85 persen berjangka waktu 18 tahun yang akan jatuh tempo pada bulan Oktober 2038. Kedua tahap tersebut akan dicatat pada Singapore Exchange Securities Trading Limited.
Star Energy akan menggunakan dana obligasi global untuk melunasi sejumlah utang dan sebagian akan dialokasikan untuk belanja modal, modal kerja, dan kebutuhan lain yang terkait dengan operasional geothermal.
Lembaga pemeringkat internasional pun telah memberikan rating investment grade untuk green bond yang diterbitkan Stary Energy itu. Fitch Ratings telah menyematkan peringkat BBB- dengan outlook stabil, sedangkan Moody’s Investor Service menyematkan peringkat Baa3 dengan outlook stabil.
Selain itu, penerbitan green bond itu juga membuat Indonesia berhasil mengalahkan Singapura menjadi penerbit green bond terbesar di Asia Tenggara tahun ini.