Bisnis.com, JAKARTA - Bisnis digital dapat menjadi motor penggerak kinerja PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. untuk semakin melaju ke depannya.
Analis MNC Sekuritas Victoria Venny mengungkapkan investasi Telkom Group di waktu yang akan datang tampaknya tak hanya mengincar sektor jaringan infrastruktur telekomunikasi.
Dari hasil pertemuan virtual antara analis saham dengan manajemen Telkom terkait rencana BUMN telekomunikasi tersebut, investasi Telkom diproyeksi akan mengarah ke perusahaan yang memiliki big data besar demi pengembangan bisnis digital.
Venny menilai langkah Telkom Group untuk masuk ke bisnis digital lewat cara demikian terbilang tepat, sebab dipercaya menciptakan sinergi dengan bisnis inti Telkom Group yang selama ini sudah berjalan sangat baik. Salah satu manfaat terbesar dari investasi di perusahaan digital dengan pengelolaan big data yang besar, yakni peluang akuisisi customer base.
"Telkom nantinya bisa akuisisi customer base perusahan digital tersebut, atau sebaliknya. Sehingga ke depannya, Telkom tak hanya sekadar mengembangkan bisnis connectivity saja, tetapi juga akan merambah ke bisnis ekonomi digital. Kunci utama bisnis masa depan adalah big data analytic," jelas Venny dalam keterangannya, Senin (5/10/2020).
Fokus pengembangan di bisnis broadband dan digital juga dapat terlihat dari kinerja keuangan TLKM. Anjloknya pendapatan dari bisnis legacy, yang mencakup telepon dan Short Message Service (SMS), menyeret turun pendapatan dan laba bersih perseroan.
Baca Juga
Berdasarkan laporan keuangan perseroan per 30 Juni 2020, TLKM membukukan pendapatan Rp66,9 triliun atau menyusut 3,6 persen secara year-on-year (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang sebesar Rp69,34 triliun.
Alhasil, bottom line perseroan pun stagnan. Laba bersih tercatat sebesar Rp11 triliun, turun tipis dari tahun sebelumnya yang senilai Rp11,1 triliun.
Meski demikian, margin laba bersih menunjukkan tren yang lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yakni menguat menjadi 16,4 persen dari sebelumnya 16 persen.
Sementara itu, Earnings Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA) naik dari 47,8 persen menjadi 54 persen.
Jika dilihat lebih jauh, bisnis legacy mengalami penurunan pendapatan hingga 27,5 persen secara tahunan, dari Rp18 triliun menjadi Rp13 triliun.
Di sisi lain, pendapatan di segmen data, internet, dan jasa teknologi serta bisnis broadband (Indihome) melesat. Pendapatan data tumbuh dari Rp33,1 triliun menjadi Rp35,3 triliun, sedangkan pendapatan Indihome meningkat dari Rp8,7 triliun menjadi Rp10,4 triliun.
Direktur Keuangan Telkom Heri Supriadi mengatakan mengungkapkan kontribusi pendapatan dari bisnis legacy masih sebesar 27-28 persen. Tapi ke depannya, bisnis ini akan terus mengalami penurunan.
TLKM mengakui saat ini, fokus perusahaan adalah pengembangan di bisnis broadband dan bisnis digital, yang menjadi tulang punggung pendapatan.
“Kalau kami dibandingkan dengan operator lain, mereka sudah bicara [kontribusi dari bisnis legacy] di bawah 10 persen dari total pendapatan,” paparnya.
Victoria Venny mengungkapkan bisnis big data analytic harus memiliki customer base yang besar, sehingga mengincar investasi di perusahaan digital yang memiliki customer base besar merupakan keniscayaan bagi Telkom.
"Dengan terjun di bisnis digital, nantinya Telkom tidak hanya sebagai dump pipe trafik penyelenggara OTT saja, tetapi mereka sudah main di bisnis digital," tambah Venny.
Selama ini, lanjutnya, perusahaan telekomunikasi di Indonesia hanya dijadikan dump pipe atau menyediakan connectivity bagi penyelenggara platform digital, tanpa peduli dengan potensi nilai ekonomi yang lebih besar yang terdapat pada pipa tersebut.
Bisnis ini membuat operator hanya mendapatkan revenue dari akses data yang setiap hari makin murah, sementara itu value dari aplikasi hanya didapatkan oleh penyedia konten.
Venny mengatakan bahwa peluang Telkom Group untuk menggarap bisnis digital khususnya di perusahaan yang memiliki big data analytic yang besar, masih sangat menjanjikan.
Bahkan sebelum Telkom, beberapa perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah terlebih dahulu berinvestasi di perusahaan digital.
"Dengan investasi di perusahaan digital, valuasinya akan meningkat. Jika Telkom mengakuisisi perusahaan digital yang memiliki customer base besar akan berpotensi meningkatkan revenue perseroan. Ujung-ujungnya akan meningkatkan value dari Telkom," katanya.
Lebih lanjut, dia menuturkan saat ini beberapa perusahaan konvensional sudah berinvestasi di perusahaan rintisan. Misalnya, ada Astra International Tbk., bersama dengan modal ventura EverHaus yang sudah berinvestasi di bisnis logistik melalui Trukita.
Astra juga sudah berinvestasi di GoJek sebanyak dua kali. Tahun lalu Astra membenamkan investasi sekitar Rp3,5 triliun di GoJek. Setelah itu, kedua perusahaan ini sepakat untuk membuat perusahaan patuangan PT. Solusi Mobilitas Bangsa (SMB). Perusahaan patungan ini meluncurkan solusi mobilitas roda empat dengan merek Gofleet.
"Contoh lainnya BRI melalui BRI Ventures, Program Dana Ventura Sembrani Nusantara ini melakukan investasi di perusahaan rintisan. Pendanaan akan difokuskan untuk seed-growth stage yang terdiri dari seed funding dan pendanaan awal Seri A. Dengan dana Rp300 miliar, Dana Ventura Sembrani Nusantara akan mencari 10 – 15 perusahaan startup di early stage pada sektor finansial, pendidikan, agro maritim, ritel, transportasi, dan Kesehatan."
Meski peluang menggarap bisnis digital sangat besar, Venny mewanti-wanti agar Telkom Group tidak gegabah dalam melakukan investasi. Harus dilihat secara lebih rinci lagi nilai investasi yang akan dikucurkan dan peluang yang akan didapatkan oleh perseroan. Jangan sampai Telkom investasi di perusahaan digital tersebut over value.
Sementara itu, JP Morgan memberikan rekomendasi overweight terhadap saham Telkom dengan target harga Rp3.750. Target tersebut berlaku hingga 30 Juni 2021.
Pada perdagangan Kamis (8/10/2020) pukul 10.43 WIB, saham TLKM naik 0,75 persen atau 20 poin menuju Rp2.680. Kapitalisasi pasarnya mencapai Rp265,49 triliun, price to earning ratio (PER) 12,08 kali.
Saham TLKM melorot 32,49 persen sepanjang 2020, bahkan terkoreksi 42,98 persen dalam 3 tahun terakhir. Apakah bisnis digital nantinya dapat mengerek kinerja dan saham TLKM?