Bisnis.com, JAKARTA — Melonjaknya kasus Covid-baru 19 di Eropa dan kontraksi indeks sektor jasa di Jepang menjadi penghalang kembalinya harga minyak ke tingkat di atas US$60 per barel.
Bloomberg melaporkan ekonomi Eropa secara tidak terduga kehilangan momentum pada Agustus 2020. Kawasan itu kembali berjuang untuk mengendalikan lonjakan baru dalam kasus Covid-19.
Adapun, di Jepang, indeks sektor jasa terus turun dan memberikan sinyal kontraksi.
"Data dari Eropa dan Jepang membingungkan dan menunjukkan harga minyak mungkin telah naik terlalu tinggi mengingat di mana kita berada dalam fase pemulihan ini,” ujar Michael Lynch, Presiden Riset Energi & Ekonomi Strategis seperti dilansir Bloomberg, Minggu (23/8/2020).
Harga minyak WTI kembali tertekan akibat lonjakan Covid-19 di Eropa dan konstraksi ekonomi Jepang./Bloomberg.
Michael menambahkan kondisi berimplikasi terhadap permintaan. Menurutnya, jumlah permintaan minyak akan sedikit lebih rendah dalam beberapa bulan mendatang.
Pada akhir pekan lalu, harga minyak kembali tergelincir setelah muncul tanda-tanda terhambatnya pemulihan ekonomi di Eropa dan Asia.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober ditutup terkoreksi 0,48 poin ke level US$42,34 per barel di New York Mercantile Exchange pada Jumat (21/8/2020).
Sementara itu, minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Oktober ditutup turun 0,55 poin ke posisi US$44,35 per barel di ICE Futures Europe exchange.
Sementara itu, pandemi Covid-19 menunjukkan lonjakan kasus di seluruh dunia. Sinyal kehati-hatian muncul atas keadaan pemulihan ekonomi global.
Italia melaporkan infeksi baru dengan jumlah dua kali lipat rerata selama tujuh hari terakhir. Sementara itu, Korea Selatan kemungkinan menuju lockdown seiring semakin banyaknya temuan kasus baru virus corona.
Kepala Strategi Pasar Blue Line Futures LLC Phil Streible mengatakan pasar tidak akan melihat fluktuasi harga riil di pasar minyak sampai pembukaan ekonomi kembali dilakukan. Saat terjadi peningkatan ekonomi, akan ada pandangan yang lebih optimistis untuk minyak mentah.
Sebagai catatan, OPEC+ memperkirakan permintaan minyak pada 2020 turun 9,1 juta barel per hari dan sebanyak 11,2 juta barel per hari jika ada kebangkitan kembali infeksi virus corona.
Di sisi lain, China mengisyaratkan permintaan minyak mentah Amerika Serikat (AS). Ekspor minyak dari Negeri Paman Sam ke Negeri Panda akan mencapai rekor pada September 2020.
China meningkatkan pembelian untuk memenuhi komitmen berdasarkan kesepakatan perdagangan. Sekitar 19 kapal tanker telah meneken pemesanan sementara untuk mengangkut minyak mentah AS ke China pada September 2020.
Seperti diketahui, di bawah perjanjian tahap pertama, China berkomitmen untuk membeli energi dari AS sekitar US$52 miliar selama 2 tahun. Akan tetapi, hubungan memburuk setelah Presiden AS Donald Trump menyalahkan China atas pandemi Covid-19 dan perlakuan terhadap Hong Kong.
Sementara itu, para operator mulai bersiap menghadapi badai yang akan mencapai Teluk Meksiko pada pekan depan. BP Plc telah mulai mengevakuasi karyawan dari empat platform yang dioperasikan di wilayah tersebut.
“Tindakan pencegahan kemungkinan akan berfungsi untuk meningkatkan nilai minyak mentah AS terhadap minyak mentah Eropa. Akan tetapi, itu tidak cukup untuk membuat pasar itu sendiri naik,” jelas Tom Finlon dari GF International.