Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak mentah dunia menuju kenaikan mingguan dalam tiga pekan berturut-turut kendati pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai membuat prospek permintaan semakin gelap.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (21/8/2020) hingga pukul 14.03 WIB harga minyak mentah berjangka jenis WTI untuk kontrak Oktober 2020 di bursa New York bergerak menguat 0,05 persen ke level US$42,84 per barel.
Untuk kontrak September 2020 yang mengakhiri perdagangannya pada Kamis (20/8/2020), parkir di level US$42,58 per barel terkoreksi 0,8 persen.
Sementara itu, harga minyak berjangka jenis Brent untuk kontrak Oktober 2020 di bursa ICE menguat 0,18 persen ke level US$44,98 per barel. Sepanjang pekan ini, harga telah menguat 0,4 persen melanjutkan tren kenaikan mingguannya selama tiga pekan berturut-turut.
Harga minyak menuju kenaikan mingguan ketiga, tetapi pandemi menyebabkan pemulihan yang tidak merata dan mengaburkan prospek permintaan.
Minyak mentah berjangka Oktober naik ke level tertinggi lima bulan pada hari Senin setelah melonjak dengan ekuitas di tengah tanda-tanda bahwa pemulihan ekonomi dapat dicapai.
Baca Juga
Analis Monex Investindo Futures Faisyal mengatakan bahwa harga minyak berpeluang bergerak naik dalam jangka pendek di tengah sentimen pelemahan dolar AS akibat rilis data ekonomi Negeri Paman Sam yang lebih buruk dibandingkan dengan ekspektasi pasar.
Untuk diketahui, laporan klaim pengangguran AS untuk pekan lalu menunjukkan adanya peningkatan pengajuan tunjangan pengangguran hingga sebesar 1,106 juta klaim.
Jumlah pengangguran yang naik lebih dari 1 juta hanya dalam sepekan itu telah membuat kekhawatiran pasar terhadap pemulihan ekonomi AS, yang tampak semakin jauh untuk dicapai, meningkat.
Kebuntuan pembahasaan undang-undang stimulus bantuan Covid-19 oleh pemerintah AS juga menjadi beban bagi harapan pemulihan ekonomi dan semakin menekan pergerakan dolar AS.
Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama berada di kisaran rendah 92,803.
“Untuk sisi atasnya, level resisten terdekat berada di US$43,4 per barel, menembus ke atas dari level tersebut berpotensi memicu kenaikan lanjutan ke US$44 sebelum membidik resisten kuat di US$44,8 per barel,” ujar Faisyal seperti dikutip dari publikasi risetnya, Jumat (21/8/2020).
Sementara itu, jika harga minyak bergerak turun, level support terlihat di US$42,4 per barel dan menembus ke bawah dari level tersebut berpeluang memicu penurunan lanjutan ke US$41,8 per barel sebelum mengincar support kuat di US$41 per barel.
KELEBIHAN PASOKAN
Kendati demikian, Faisyal menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak itu berpeluang terbatas seiring dengan kondisi pasar minyak global yang diyakini mengalami surplus pasokan hingga 2 juta barel.
Belum lagi data Energy Information Administration yang menunjukkan adanya penurunan lebih dari 2 juta barel terhadap permintaan bahan bakar AS pada pekan lalu menjadi hanya sebesar 17,2 juta barel.
Di sisi lain, Senior Analis Komoditas VI Investment Corp Will Sunghcil Yun mengatakan bahwa data pengangguran AS juga bisa menjadi katalis negatif bagi harga minyak karena menjadi ancaman ekonomi global dan konsumsi secara keseluruhan.
“Bahkan, ketika ada vaksin yang tersedia, OPEC+ mungkin akan tetap diminta untuk mengatasi kelebihan pasokan karena permintaan yang begitu lemah,” ujar Yun seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (21/8/2020).
Adapun, dalam pertemuannya pekan ini, OPEC+ mendesak negara-negara penghasil minyak yang berproduksi di atas target produksi pada Mei-Juli untuk mengurangi lebih lanjut pada Agustus dan September.
Joint Ministerial Monitoring Committee (JMMC), panel yang meninjau perjanjian OPEC+, memperkirakan bahwa permintaan minyak dapat mencapai level sebelum Covid-19 pada akhir tahun.
Namun, JMMC merasa bahwa kecepatan pemulihan tampaknya lebih lambat daripada yang diharapkan dan mewaspadai risiko penurunan permintaan bahan bakar jika krisis Covid-19 terus berlanjut.