Bisnis.com, JAKARTA – Kabar buruk silih berganti menyandung rally bursa saham Hong Kong. Aksi protes, pandemi Covid-19, kemerosotan ekonomi, dan kini akhir dari status istimewa kota itu dengan Amerika Serikat.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Hang Seng turun 0,2 persen pada perdagangan Rabu (15/7/2020) pukul 2.43 siang waktu setempat, melenyapkan kenaikan tajam hingga 1,6 persen yang mampu dibukukan sebelumnya.
Kinerja terburuk dialami saham perusahaan teknologi China, bersama dengan pengembang properti Hong Kong. Saham emiten China daratan juga menurun.
Kendati telah diantisipasi, penurunan ini menyoroti meningkatnya kerentanan Hong Kong terhadap eskalasi ketegangan antara Beijing dan Washington.
“Sanksi AS telah memengaruhi aset-aset Hong Kong,” ujar Direktur eksekutif di UOB Kay Hian Steven Leung, dilansir dari Bloomberg.
“Salah satu kekhawatirannya adalah bagaimana hal itu akan memengaruhi perdagangan Hong Kong di masa depan dan juga ada kekhawatiran bahwa bank-bank di kota tersebut dapat dilarang membeli greenback [dolar AS],” terangnya.
Baca Juga
Di antara bursa saham global, Hang Seng tertinggal. Indeks saham acuan Hong Kong ini terkoreksi 11 persen selama 12 bulan terakhir hingga Selasa (14/7/202), dibandingkan dengan kenaikan 2 persen oleh indeks saham dunia MSCI.
Terhadap indeks saham acuan AS dan China daratan, kinerja buruk Hong Kong bahkan lebih mencolok. Indeks S&P 500 AS dan indeks CSI 300 telah menguat sedikitnya 6 persen dalam setahun terakhir.
Seperti diberitakan, Presiden AS Donald Trump telah menandatangani Undang-Undang Otonomi Hong Kong serta perintah eksekutif yang mengakhiri perlakuan perdagangan preferensial Hong Kong. Dengan disahkannya beleid ini, Hong Kong akan diperlakukan sama seperti China daratan.
Sementara itu, Gedung Putih mengatakan perintah tersebut akan mencabut perlakuan khusus bagi pemegang paspor Hong Kong dan mengakhiri keuntungan Hong Kong atas ekspor AS.
"Dalam jangka panjang, langkah ini menambah lapisan ketidakpastian yang tidak perlu pada hubungan China-AS yang sudah membeku, terutama dalam hal perdagangan," tutur kepala penelitian Asia di United First Partners Justin Tang.
“Dengan latar belakang disrupsi terkait Covid-19, eskalasi perang dagang akan membuat rantai pasokan semakin kacau,” sambungnya.