Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menyarankan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) bersikap terbuka terhadap rencana perseroan agar pemegang saham bila mengambil posisi.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. tengah membutuhkan pembiayaan senilai Rp9,5 triliun agar tetap beroperasi di tengah terpaan badai pandemi Covid-19. Opsi dana talangan dengan skema mandatory convertible bond diusung perseroan.
Sebagai salah satu jalan keluar, GIAA meminta dana talangan kepada pemerintah senilai Rp8,5 triliun. Kucuran itu akan digunakan untuk menjaga likuiditas dan solvabilitas perusahaan pada 2020—2023.
Adapun, pemerintah telah memasukkan Garuda Indonesia sebagai salah satu penerima dukungan dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Lewat program itu, pemerintah akan menyuntik perseroan dengan bantuan dana talangan untuk modal kerja sebesar Rp8,5 triliun.
Associate Director BUMN Research Group (BRG) LM-Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai skema MCB menunjukkan skenario pesimistis dari GIAA. Artinya, perseroan memiliki prediksi bahwa situasi bisnis maskapai penerbangan akan tetap berat dalam beberapa tahun ke depan, sehingga struktur itu diajukan.
Toto menuturkan sejumlah maskapai di negara lain juga mengajukan penambahan modal dari pemerintah karena efek Covid-19. Salah satunya Cathay Pacific di Hong Kong.
Baca Juga
“Garuda sebelum Covid-19 kinerjanya juga bermasalah. Jadi, pinjaman modal kerja ini perlu monitoring kuat supaya penggunaannya tepat sasaran,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (15/7/2020).
Sebagai perusahaan berstatus publik, dia menyarankan GIAA mengungkap kepada masyarakat rencana-rencana pendanaan yang akan ditempuh. Dengan demikian, pemegang saham lainnya mendapat kesempatan untuk mengambil posisi.
Berdasarkan data Bloomberg, harga saham GIAA berada di level Rp260 pada akhir sesi I Rabu (15/7/2020), setelah bergerak di rentang Rp258 - Rp268. Total kapitalisasi pasar perseroan senilai Rp6,73 triliun.
GIAA mengalami penurunan pendapatan 30,14 persen secara tahunan menjadi US$768,12 juta pada kuartal I/2020. Nilai yang dikantongi turun akibat berkurangnya pendapatan dari penerbangan berjadwal yang menjadi sumber utama pendapatan perseroan.
Akibatnya, GIAA membukukan rugi bersih perseroan mencapai US$120,16 juta per 31 Maret 2020 atau berbalik dari posisi untung US$20,48 juta pada kuartal I/2019.
Analis PT Artha Sekuritas Indonesia Nugroho R. Fitriyanto menilai GIAA tengah berada dalam keadaan yang sulit dalam masa pandemi. Sebagai gambaran, tingkat keterisian atau seat load factor (SLF) hanya 11,3 persen pada Mei 2020.
“Kondisi ini cukup menekan financial performance dari GIAA di mana terlihat pada kuartal I/2020 sendiri mencatatkan penurunan pendapatan yang cukup dalam. Kami proyeksi pada kuartal II/2020 ini akan semakin dalam seiring dengan pengetatan penerbangan yang lebih ketat,” tuturnya.