Bisnis.com, JAKARTA - Para pembuat kebijakan di China menghadapi dilema untuk memulihkan ekonomi yang tertekan akibat Covid-19, terutama terkait gagal bayar obligasi. Tentunya, pemerintah China tidak ingin mengulang periode gelembung utang (credit bubble) seperti pada 2016.
Sejatinya, permasalahan gagal bayar obligasi yang meningkat sudah diprediksi oleh Lembaga pemeringkat Moody’s Investment Service. Bahkan, Moody’s memprediksi risiko gagal bayar obligasi di Asia Pasifik bakal meningkat.
Memasuki paruh kedua tahun ini, kemampuan bayar utang dari korporasi China belum menunjukkan perbaikan bahkan cenderung kian melemah. Beberapa perusahaan pun sudah mengajukan gagal bayar utang atau default.
Dikutip dari Bloomberg, Beijing Sound Environmental Engineering Co. menjadi perusahaan pertama di China yang gagal membayar utangnya karena alasan likuiditas.
Dalam kondisi pelemahan ekonomi secara global saat ini, pemerintah China seperti halnya pemerintahan lain di dunia harus mengambil kebijakan yang dapat menahan tekanan dampak Covid-19 terhadap perekonomian.
Credit Analyst di Lucror Analytics Singapura Zhou Chuanyi, mengatakan tren yang terjadi di China sekarang ini tampaknya akan berakhir pada kemudahan pendanaan bagi korporasi.
Baca Juga
Khusus untuk obligasi dari sektor properti, Zhou menyebut sejauh ini belum ada yang menyatakan default dan laju ekspansi pengembang bisa lebih terkendali di bawah aturan yang dibuat pemerintah lokal.
“Terlebih lagi, beberapa pengembang mungkin menunda pembukaan propertinya, seperti yang diatur oleh pemerintah lokal, sehingga membatasi keluarnya modal kerja,” kata Zhou, Kamis (2/7/2020).
Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Moody’s Investment Service memperkirakan tingkat risiko gagal bayar (default risk) perusahaan-perusahaan nonfinansial di Asia Pasifik akan meningkat pada 2020, seiring dengan dampak pandemi virus corona (Covid-19) yang membebani kualitas kredit.
Dalam publikasi Moody’s yang pada akhir April 2020 disebutkan bahwa berdasarkan Moody’s Credit Transition Model, tingkat gagal bayar perusahaan nonfinansial dengan yang memberikan imbal hasil tinggi (high yield) 12 bulan di Asia Pasifik berpotensi naik menjadi 6,4 persen per akhir 2020.
Angka berdasarkan skenario baseline tersebut meningkat dari estimasi sebelumnya yakni 2,4 persen, begitu pula jika dibandingkan dengan tingkat default pada tahun sebelumnya yakni 1,1 persen.
Moody's Group Credit Officer and Senior Vice President Clara Lau mengatakan pandemi virus corona (Covid-19) telah memicu kontraksi pada supply and demand secara simultan, yang akan kemudian menekan pendapatan perusahaan.
Menurutnya, meskipun kegiatan ekonomi mulai kembali berjalan pada kuartal kedua ini, proses pemulihan tetap tidak akan mudah dan kondisi ekonomi masih akan sangat menantang.
“Sehingga kami khawatir masih tetap meningkatkan risiko gagal bayar,” ujar Lau dalam laporan tersebut.