Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jurus Manajer Investasi Optimalkan Cuan saat Yield Obligasi dalam Tren Penurunan

Manajer investasi memanfaatkan tren penurunan yield obligasi dengan memperpanjang durasi dan mengkombinasikan obligasi pemerintah dan korporasi.
Pegawai mengamati pergerakan harga saham dan obligasi di Profindo Sekuritas, Jakarta, Kamis (5/9/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai mengamati pergerakan harga saham dan obligasi di Profindo Sekuritas, Jakarta, Kamis (5/9/2024). Bisnis/Himawan L Nugraha
Ringkasan Berita
  • Manajer investasi memanfaatkan tren penurunan suku bunga dengan memperpanjang durasi obligasi pemerintah dan mengkombinasikannya dengan obligasi korporasi untuk mengoptimalkan imbal hasil.
  • Manulife menerapkan manajemen portofolio aktif dengan fokus pada analisis makro dan pembobotan yang tepat untuk meningkatkan hasil reksadana pendapatan tetap, terutama dengan memperbesar rasio SBN.
  • Prospek obligasi diprediksi positif hingga akhir 2025 dengan potensi penurunan yield SBN, meskipun terdapat risiko seperti tensi geopolitik dan kebijakan suku bunga The Fed.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA — Turunnya suku bunga acuan serta ekspektasi pemangkasan lanjutan oleh Bank Indonesia dinilai membuka prospek positif bagi pasar obligasi. Kondisi ini mendorong manajer investasi meracik strategi guna mengoptimalkan imbal hasil bagi investor.

Berdasarkan catatan Mirae Asset Sekuritas Indonesia, yield SBN 10 tahun ditutup di level 6,33% pada Senin (25/8/2025). Level itu disebut merupakan level terendah sejak Februari 2023 atau dalam 22 bulan terakhir.

Kendati, pada perdagangan Rabu (27/8) level yield SBN 10 tahun kembali ke 6,34%, hal ini tidak menafikan tren penurunan yield yang diproyeksi masih terjadi hingga akhir tahun ini.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini tengah berupaya untuk memperpanjang durasi obligasi pemerintah. Strategi ini diambil untuk memanfaatkan tren penurunan suku bunga yang masih berlanjut.

Selain itu, Panin juga mengkombinasikan obligasi pemerintah dengan obligasi korporasi. Menurut Rudi, secara historis, obligasi pemerintah selalu mengalami net buy, dengan begitu memungkinkan masuknya investor asing ke produk tersebut.

“Kami memperpanjang durasi obligasi negara dan kombinasi dengan obligasi korporasi. Obligasi pemerintah Indonesia dari dulu selalu menjadi favorit investor asing karena selalu mengalami net buy, jadi bagi investor asing sudah kompetitif,” katanya kepada Bisnis, Rabu (27/8/2025).

Di sisi lain, Direktur Manulife Asset Management Indonesia Ezra Nazula menerangkan, Manulife menerapkan pendekatan manajemen yang aktif terhadap portofolio reksadana pendapatan tetap mereka.

Pendekatan ini memungkinkan Manulife untuk melakukan pembobotan yang sesuai untuk memberikan hasil yang optimal kepada para investor.

“Kami akan melakukan analisa terhadap kondisi makro atau fundamental dan juga melihat seri dan tenor mana di kurva imbal hasil, kemudian melakukan pembobotan yang sesuai sehingga dapat memberikan hasil optimal kepada investor,” katanya, Rabu (27/8/2025).

Ezra menilai, potensi pemangkasan suku bunga di tingkat global maupun domestik masih terbuka hingga akhir tahun dan bahkan berlanjut ke 2026. Dengan begitu, potensi penurunan yield SBN diprediksi akan berlanjut ke depannya.

Hal itu pula yang mendasari keputusan Manulife untuk memperbesar rasio SBN di produk reksa dana mereka, ketimbang obligasi korporasi.

“Karena kami masih ekspektasikan pemangkasan suku bunga berlanjut maka bobot masih didominasi oleh SBN,” katanya.

Senada, Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menerangkan, hingga akhir 2025, prospek obligasi akan positif. Hal itu didorong oleh kecenderungan suku bunga yang turun sehingga akan diikuti dengan penurunan yield obligasi.

“Dengan demikian investor akan mendapatkan dual gain, dari kupon obligasi dan capital gain kenaikan harga,” katanya kepada Bisnis, Rabu (27/8/2025).

Bahkan, Handy memproyeksikan bahwa yield SBN dengan tenor 10 tahun akan berada di level 5,8–6,2% hingga akhir 2025.

Meskipun begitu, kondisi pasar obligasi Tanah Air tidak terlepas dari risiko. Handy menilai, sejumlah risiko yang berpotensi membayangi pasar obligasi dalam negeri antara lain tarif resiprokal AS, tensi geopolitik yang kembali memanas, atau The Fed yang urung memangkas suku bunga.

“Kekhawatiran stagflasi menjadi risiko paling besar, karena bank sentral dalam posisi dilematis, jika menurunkan bunga untuk bantu ekonomi dikhawatirkan inflasinya malah akan semakin tinggi. Jika bunga dinaikkan, ekonominya bisa semakin dalam kontraksinya,” kata Handy.

_______

Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual obligasi. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro