Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. menyatakan belum mencapai kesepakatan final terkait upaya penyelamatan perseroan dari jeratan utang dan prospek bisnis yang suram di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyatakan pihaknya masih menggodok sejumlah opsi untuk menyelesaikan berbagai kewajiban dan menjaga kelangsungan usaha. Menurutnya, belum ada kesepakatan yang tercapai di antara Garuda dan berbagai pihak yang terlibat.
“Masih digodok, belum final. Sabar ya, nanti kalau sudah selesai pasti akan dikabarkan,” katanya kepada Bisnis, Senin (11/5/2020).
Emiten bersandi saham GIAA itu diketahui telah menjalin pembicaraan dengan berbagai pihak dari perbankan dan jasa keuangan guna menyelesaikan berbagai kewajiban jangka pendek perseroan. Irfan menyatakan semua proses itu masih terus berlanjut hingga kini.
“Nanti kalau sudah firm pasti kami berikan update, sejauh ini kami sedang diskusi dengan banyak pihak,” ujarnya.
Sebelumnya, dikutip dari Bloomberg, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan skema pendanaan sebesar US$1 miliar untuk menyelamatkan maskapai pelat merah tersebut dari jeratan utang jangka pendek.
Rencana penyelamatan ini terdiri dari rencana penarikan pinjaman baru senilai US$500 juta untuk memenuhi kebutuhan belanja operasional perseroan hingga 3 bulan—6 bulan ke depan. Selain itu, rencana ini meliputi upaya perpanjangan masa jatuh tempo sukuk global senilai US$500 juta yang akan jatuh tempo pada 3 Juni 2020.
Dia menjelaskan upaya restrukturisasi dilakukan dengan menawarkan proposal perpanjangan jatuh tempo sukuk selama 3 tahun dan pembayaran secara bertahap kepada para pemegang surat utang itu. Per akhir 2019, saldo utang obligasi ini mencapai US$498,99 juta.
Tiko, sapaan akrabnya, meyakini bahwa bisnis Garuda Indonesia masih berpotensi tumbuh kembali saat Covid-19 berlalu. Saat ini, emiten berkode saham GIAA itu memang mengalami tekanan kinerja cukup berat karena penurunan penumpang dan pembatasan operasional penerbangan.
“Garuda tetap merupakan sebuah perusahaan dengan prospek yang cerah. Bisnis Garuda akan tetap kuat setelah pandemi ini berlalu,” katanya dikutip dari Bloomberg, Senin (11/5/2020).
Sukuk tersebut telah mengalami penurunan harga yang cukup siginifikan di pasar sekunder. Harganya turun dari 98,72 sen terhadap dolar pada Januari, ke level 42,49 sen per dolar. Penurunan harga ini sejalan dengan mencuatnya persoalan utang perseroan dan kekhawatiran gagal bayar.
Tiko menambahkan pemerintah tidak akan mengambil opsi penambahan penyertaan modal negara (PMN) untuk menyelesaikan masalah utang Garuda Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini tercatat memiliki sekitar 61 persen saham perseroan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan bahwa pihaknya siap membantu upaya penyelamatan Garuda Indonesia. Namun, menurutnya seluruh upaya itu berada di bawah arahan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Untuk Garuda Indonesia silakan tanya ke Kementerian BUMN. Koordinator dan lead-nya mereka, termasuk dalam mencari alternatif solusi, kami [Kementerian Keuangan] support,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (11/5/2020).
Mengutip laporan keuangan 2019, Garuda Indonesia memiliki total pinjaman senilai US$1,83 miliar dan pinjaman bersih senilai US$1,53 miliar.
Sementara itu, posisi ekuitas mencapai US$720,62 juta. Dengan demikian, posisi debt to equity ratio (DER) perseroan mencapai 2,55 kali, dan net debt to equity ratio perseroan mencapai 214 persen per akhir 2019.
Garuda pun tercatat memiliki liabilitas jangka pendek yang cukup besar per akhir 2019, yakni US$3,25 miliar. Kewajiban jangka pendek itu mendominasi total liabilitas perseroan yang mencapai US$3,73 miliar.
Dari jumlah tersebut, US$984,85 juta di antaranya merupakan pinjaman bank. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman bank terafiliasi sebanyak US$540,09 juta dan US$444,75 juta kepada bank pihak ketiga.
Dengan proyeksi kinerja yang akan tersungkur akibat pandemi Covid-19, perseroan kini menggenjot bisnis bisnis kargo dan peluang penerbangan dari dan ke luar negeri. Hal ini diiringi dengan upaya lainnya seperti negosiasi kontrak dengan lessor atau jasa penyewaan pesawat serta melakukan pemotongan upah karyawan di semua level.
Selain itu, perseroan juga memperbarui perjanjian pinjaman dari perbankan untuk memperpanjang tenor. Garuda Indonesia telah menandatangani pembaruan kerja sama fasilitas pinjaman dengan nilai total Rp5,74 triliun dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebagai kredit modal kerja untuk perseroan dan anak usaha.
Fasilitas ini terbagi ke dalam tiga jenis, pertama, fasilitas pinjaman jangka pendek sebanyak-banyaknya US$50 juta dolar AS atau setara Rp754 miliar (Kurs Rp15.088).
Berdasarkan laporan keuangan 2019, BRI tercatat sebagai bank dengan total pinjaman terbesar kepada Garuda Indonesia, mencapai US$218,7 juta. Kredit ini terbagi dalam kredit kepada perseroan secara langsung maupun ke anak usaha.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. juga menjadi bank dengan nilai pinjaman cukup besar kepada Garuda Indonesia. Namun, hingga saat ini, dua bank pelat merah ini belum menyatakan akan memberikan pinjaman serupa kepada perseroan.
“Saat ini hal itu sudah menjadi ranahnya Kementerian BUMN. Sejauh ini belum ada arahan kepada kami [Bank Mandiri],” kata Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rully Setiawan kepada Bisnis, Senin (11/5/2020).
Pada penutupan perdagangan hari ini, saham GIAA tersungkur 6,5 persen ke level Rp230 per saham. Penurunan harga saham perseroan terjadi setelah selama hampir 2 pekan terus mengalami penguatan. Sepanjang tahun berjalan, saham GIAA telah terkoreksi 53,82 persen.