Bisnis.com, JAKARTA - PT Bursa Efek Indonesia memasukan tujuh emiten ke dalam daftar unusual market activity sepanjang April 2020 karena penurunan harga saham di luar kebiasaan.
PT Indonesia Pondasi Raya Tbk. (IDPR) menjadi emiten ketujuh yang masuk ke dalam daftar unusual market activity (UMA). Pada 30 April 2020, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan telah terjadi penurunan harga saham IDPR yang di luar kebiasaan.
Selain IDPR, Bursa juga mengumumkan UMA untuk saham PT Nusantara Properti International Tbk (NATO) pada saat yang bersamaan. Otoritas menginformasikan bahwa telah terjadi penurunan harga saham NATO yang di luar kebiasaan.
Sebagai gambaran, saham IDPR terkoreksi cukup dalam sepanjang periode berjalan 2020. Sampai dengan penutupan Senin (4/5/2020), pergerakan telah mengalami koreksi 66,03 persen ke level Rp125 per lembar.
Kondisi tidak jauh berbeda dialami oleh saham NATO yang sudah turun 52,53 persen secara year to date (ytd). Harga saham mendarat di level Rp515 pada akhir sesi, Senin (4/5/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, setidaknya ada lima emiten lagi yang telah masuk daftar UMA dengan alasan yang sama sepanjang April 2020 yakni PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST), PT Nusantara Almazia Tbk (NZIA).
Baca Juga
Selanjutnya, PT Cahaya Bintang Medan Tbk (CBMF), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), dan PT Menteng Heritage Realty Tbk (HRME).
Kristian S. Manullang, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia menjelaskan bahwa pengumuman UMA diberikan untuk saham-saham yang pergerakan transaksinya menunjukkan anomali atau di luar kebiasaan.
Namun, sebagaimana disebutkan, pengumuman UMA tidak serta merta menunjukkan adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di pasar modal.
“Banyak saham yang mengalami penurunan harga namun tidak semua yang dikenakan pengumuman UMA oleh Bursa,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (4/5/2020).
Sementara itu, Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji menilai kinerja fundamental beberapa emiten dalam daftar itu masih belum positif. Menurutnya, sebagian besar telah mengalami penurunan kinerja sejak perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Dia menilai emiten-emiten yang masuk ke dalam daftar UMA tersebut kurang likuid sehingga tidak terlalu menarik bagi para pelaku pasar.
“Ada juga yang kinerjanya positif namun valuasinya sangat tinggi sehingga kurang atraktif bagi investor,” jelasnya.
Lebih lanjut, Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani menilai ketujuh saham dalam daftar UMA itu memiliki bid offer yang kecil dan tidak likuid. Dengan demikian, wajar apabila ada investor yang ingin menjual dalam jumlah yang agak banyak.
“Beberapa emiten diatas juga memiliki penurunan laba, tidak mencatatkan laba bahkan membukukan kerugian sehingga juga menjadi sentimen negatif penurunan harga saham,” jelasnya.
William Hartanto, Technical Analyst Panin Sekuritas menambahkan penurunan harga saham-saham dalam daftar UMA tersebut karena terjadi distribusi besar. Artinya, kemungkinan emiten tidak dianggap berprospek lagi oleh pelaku pasar atau karena sudah memasuki masa jenuh.
“Kalau diperhatikan sebenarnya saham-saham di atas sudah lama tidak ramai diperdagangkan lagi jadi wajar jika sudah tidak menarik dan mengalami distribusi,” imbuhnya.