Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan pelat merah menghadapi risiko penurunan kemampuan melunasi kewajiban utang seiring dengan penurunan pendapatan akibat terimbas pandemi virus corona (Covid-19).
Dari berbagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) ,potensi penurunan pendapatan paling besar berada pada emiten di sektor transportasi, seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menyatakan bahwa di tengah kondisi pandemi, Garuda Indonesia tidak memiliki banyak opsi lain selain restrukturisasi pinjaman banknya, khususnya dari bank-bank pelat merah.
“Bantuan dari perbankan BUMN paling bagus saat ini perpanjangan tenor dan penurunan bunga, karena perusahaan masih punya prospek yang baik setelah pandemi ini,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (21/4/2020).
Dia menyatakan bahwa meski kinerja operasional kian terbatas akibat adanya pandemi virus corona, Garuda Indonesia masih memiliki prospek yang kuat. Menurutnya, sangat berdasar apabila perbankan BUMN memberikan kelonggaran kepada perusahaan penerbangan itu.
Alfred menyebut, restrukturisasi juga kian mungkin dilakukan apabila melihat langkah perbankan yang memberikan pelonggaran serupa kepada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. di awal tahun. Meski kinerja emiten berkode KRAS itu jauh dari kata moncer, prospeknya masih cukup baik sehingga restrukturisasi tidak merugikan pihak bank.
Baca Juga
Kendati demikian, masalah Garuda Indonesia tidak hanya pinjaman bank jangka pendek, perseroan juga memiliki utang obligasi dalam dolar AS yang akan jatuh tempo pada Juni 2020. Nilainya mencapai sekitar US$500 juta.
Menurut Alfred, skema yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan refinancing alias menerbitkan surat utang lagi untuk membayar utang tersebut. Namun, hal ini akan berisiko meningkatkan beban bunga karena kupon untuk obligasi baru di tengah kondisi Garuda saat ini akan sangat tinggi.
Selain itu, menurutnya ada skema lain yang bisa diupayakan dengan restrukturisasi obligasi tersebut menjadi convertible, atau bisa dikonversi terhadap saham. Namun, hal ini juga tidak akan mudah karena sulit dibayangkan pemerintah rela kepemilikannya di perusahaan tersebut berkurang.
Dia menambahkan untuk utang obligasi ini, perseroan juga bisa mengandalkan pinjaman tambahan dari perbankan. Namun, tentunya risiko ini cukup tinggi dan berpotensi dihindari bank-bank pelat merah yang juga dihadapkan pada persoalannya sendiri karena pandemi ini.
Menurutnya kemampuan emiten BUMN melunasi kewajibannya akan lebih banyak ditentukan pada kondisi fundamentalnya. Perusahaan yang mencatatkan rugi pada 2019, diperkirakan akan kian terhantam kinerjanya pada tahun ini karena dampak virus corona.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa BUMN karya seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk. dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. akan relatif lebih kuat menghadapi krisis. Meski diperkirakan perolehan laba akan tergerus, emiten karya dinilai masih memiliki potensi pendapatan dari pengerjaan kontrak yang dihadapi.
“BUMN karya saya pikir untuk saat ini belum perlu diragukan. Jasa Marga saya kira juga karakteristiknya akan sama dengan karya, risiko kegagalan itu masih cukup kecil, tapi risiko untuk penurunan bottom line cukup besar,” jelasnya.
Senada, Kepala Lembaga Manajemen FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai di tengah kondisi ini peluang perusahaan pelat merah untuk menegosiasi ulang utang dengan kreditur sangat mungkin dilakukan. Pasalnya, pandemi ini bisa dikategorikan sebagai kondisi kahar alias force majeure.
“Dalam konteks sinergi BUMN, relaksasi pembayaran kredit bisa dilakukan oleh BUMN kepada bank Himbara [Himpunan Bank Milik Negara] bisa dilakukan sesuai kesepakatan. Prinsipnya, yang penting win-win bagi kedua belah pihak,” katanya kepada Bisnis, Selasa (21/4/2020).
Dia menambahkan upaya menjaga kemampuan membayar kewajiban juga harus diikuti dengan efisiensi besar-besaran oleh BUMN. Hal ini diharapkan dapat merampingkan struktur beban secara umum.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa hal yang sulit dibantu oleh bank BUMN adalah pinjaman dalam bentuk surat utang atau bond. Terlebih, jika surat utang tersebut diterbitkan dalam denominasi dolar nilai tukarnya terhadap rupiah meningkat sepanjang tahun ini.
Di lain pihak, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menyebut restrukturisasi dan trannsformasi BUMN menjadi fokus Kementerian BUMN. Dalam laman media sosial Instagram pribadinya, Kartika menyebut mengelola perusahaan milik negara sangat menantang. Kendati demikian, Kementerian BUMN tetap fokus pada progres dan mencari peluang perbaikan dan solusi guna memecahkan permasalahan.
"Kadang rencana tidak berjalan sesuai karena faktor baru seperti Covid-19," tulisnya, Selasa (21/4/2020).