Bisnis.com, JAKARTA - Konsumsi gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk. ditopang oleh permintaan gas rumah tangga seiring dengan penerapan kerja dari rumah atau work from home (wfh) oleh banyak perusahaan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Direktur Utama Perusahaan Gas Negara Gigih Prakoso mengatakan bahwa di tengah melemahnya permintaan gas oleh industri, permintaan gas rumah tangga berhasil meningkat sehingga dapat membatasi penurunan jumlah permintaan gas keseluruhan pada tahun ini.
Adapun, dia memprediksi pada tahun ini permintaan gas akan terkontraksi hingga 31,6 Billion British Thermal Unit per Day (bbtud) secara keseluruhan. Dengan perincian, untuk sektor retail diprediksi turun 18,66 bbtud, korporat 10 bbtud, dan calon pelanggan baru sekitar 3 bbtud atau setara 50 pelanggan baru terdampak.
“Jumlah permintaan gas akan terus berkurang dan ini telah menyentuh batasan kontrak gas kami dari hulu,” ujar Gigih saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI secara virtual, Selasa (21/4/2020).
Selain itu, Direktur Keuangan Perusahaan Gas Negara Arie Nobelta Kaban mengatakan bahwa penurunan permintaan gas itu tentu akan berdampak terhadap penurunan laba, tetapi secara garis besar arus kas emiten berkode saham PGAS itu diproyeksi masih positif di tengah pandemi Covid-19.
Namun, dengan adanya implementasi Permen ESDM no.8/2020 atau penyesuaian harga gas industri sebesar US$6 per mmbtu yang juga dapat menurunkan pendapatan perusahaan hingga 21 persen, maka arus kas dan catatan laba atau rugi perseroan akan semakin terganggu.
Baca Juga
Arie menjelaskan jika tidak terdapat kompensasi dari pemerintah, hal itu akan mengganggu pelunasan kewajiban atau liabilitas jangka penjang perseroan. Menurut Arie, PGAS memiliki utang jangka panjang hingga 2024 berupa obligasi hingga US$1,9 miliar.
“Apabila tidak ada insentif maka kemampuan PGN untuk memenuhi kewajiban jangka panjang kemungkinan akan tergangu, untuk detailnya akan kami sampaikan secara tertulis,” jelas Arie.
Adapun, PGAS membukukan laba bersih senilai US$67,58 juta pada 2019, turun 77,84 persen atau US$237,40 juta dari capaian 2018. Hal itu juga sejalan dengan penurunan pendapatan sebesar 0,56 persen menjadi US$3,84 miliar, dibandingkan dengan 2018.
Sementara itu, liabilitas perseroan tercatat mengalami penurunan 12,62 persen menjadi US$4,13 miliar. Liabilitas jangka panjang turun 3,73 persen menjadi US$3,10 miliar, sedangkan liabilitas jangka pendek turun 29,99 persen menjadi US$1,12 miliar.
Di sisi lain, Kepala Riset Maybank Kim Eng Securities Isnaputra Iskandar mengatakan dalam publikasi risetnya bahwa pihaknya merevisi perkiraan penjualan dan laba inti perseroan menjadi sebesar US$2,811 juta dan US$94 juta.
Sebelumnya, dia memperkirakan penjualan PGAS pada tahun ini akan mencapai US$3,940 juta dan laba inti akan mencapai US$246 juta.
Selain itu, penerapan penurunan harga gas untuk tujuh sektor industri sebesar US$6 per mmbtu juga mungkin akan diperluas ke sektor listrik yang memberikan kontribusi sekitar 41,8 persen dari volume distribusi PGAS pada 2019.
Akibatnya, margin perseroan mungkin akan terkoreksi menjadi US$1,5 per mmbtu dari daripada margin tahun lalu sebesar US$2,1 per mmbtu.
Proyeksi penghasilan yang lebih rendah juga dikarenakan Isnaputra memprediksi bisnis oil and gas perseroan tidak akan mendapatkan laba karena rendahnya harga minyak tahun ini. Setiap penurunan margin distribusi sebesar US$0,1 per mmbtu diprediksi menurunkan perkiraan laba tahun 2020 Maybank Kim Eng Securities sebesar 27 persen.
“Kami juga memangkas perkiraan EPS FY20-21 sebesar 62-65 persen karena margin dan volume distribusi gas yang lebih rendah,” ujar Isnaputra seperti dikutip dari publikasi risetnya.