Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah emiten batu bara dalam negeri optimistis harga emas hitam itu akan berangsur meningkat ke kisaran yang lebih tinggi setelah pandemi Covid-19 ini berakhir.
Bahkan, sejumlah emiten masih mempertahankan panduan average selling price (ASP) batu baranya untuk tahun ini.
Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk. Hadis Surya mengatakan bahwa meskipun ASP batu bara perseroan pada kuartal pertama tahun ini mengalami penurunan hingga 3-5 persen, perseroan masih percaya diri dengan panduan ASP yang ditetapkan untuk tahun ini.
Emiten bersandi PTBA itu masih memandang optimis harga batu bara untuk bergerak lebih baik setelah wabah Covid-19 berlalu. Adapun, salah satu indikasinya, lanjut Hadis, terlihat dari meningkatnya permintaan kebutuhan batu bara dari China.
“Sampai dengan saat ini belum ada revisi proyeksi harga jual batu bara perseroan, tetapi analisis terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepan senantiasa akan dilakukan,” ujar Hadis kepada Bisnis.com akhir pekan lalu.
Senada, Direktur dan Corporate Secretary PT Bumi Resources Tbk. Dileep Srivastava juga mengatakan belum akan merevisi panduan ASP batu bara pada tahun ini.
Baca Juga
Adapun, ASP batu bara emiten bersandi BUMI pada tahun ini berada di kisaran US$51-US$53 per ton dengan perkiraan volume penjualan sekitar 22 juta ton, yang merupakan level tertinggi sepanjang sejarah.
“Penjualan dan output kami cukup kuat saat ini dan harga batu bara global pun masih cukup bertahan di level yang cukup aman. Jadi tidak ada perubahan panduan ASP,” ujar Dileep kepada Bisnis.
Di sisi lain, PT Adaro Energy Tbk. pun berkomitmen untuk mempertahankan kinerja yang solid di tengah fluktuasi harga batu bara pada tahun ini. Emiten berkode saham ADRO itu akan tetap melakukan kegiatan eksplorasi sesuai rencana di tambang milik perusahaan.
Head of Corporate Communication Division Adaro Energy Febriati Nadira mengatakan bahwa perseroan berupaya mempertahankan kinerja yang solid melalui model bisnis kami yang terintegrasi sehingga membantu perusahaan tidak tergantung dengan fluktuasi harga batubara.
“Kami akan terus fokus terhadap upaya peningkatan keunggulan operasional, pengendalian biaya dan efisiensi, serta eksekusi strategi demi kelangsungan bisnis,” ujar Febriati.
Rata-rata Harga Komoditas Energi Kuartal I/2020
Sumber: World Bank Commodities Price Data (The Pink Sheet), April 2020
Keterangan: *Pada penutupan perdagangan Kamis 9 April 2020
Sumber: Bloomberg
Kendati pergerakan cukup fluktuatif sepanjang tahun berjalan 2020, harga batu bara berhasil bergerak relatif stabil dibandingkan dengan komoditas energi lainnya di tengah sentimen pandemi COVID-19.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan bahwa sejauh ini semua komoditas mulai dari tembaga hingga batu bara mengalami tren pelemahan akibat sentimen penyebaran Covid-19 yang melemahkan permintaan.
Namun, batu bara berhasil bergerak cukup stabil dan tidak jatuh cukup dalam di antara komoditas energi lainnya. Dia melihat permintaan batu bara mampu bertahan tidak turun signifikan meskipun terdapat sentimen penyebaran covid-19.
Sepanjang tahun berjalan 2020, harga batu bara Newcastle untuk kontrak teraktif di bursa ICE terkoreksi 9,4 persen. Jika dibandingkan dengan komoditas energi lainnya, minyak jenis WTI telah terkoreksi hingga 63,1 persen dan harga gas alam di bursa Nymex terkoreksi hingga 20,72 persen secara year to date.
Dengan demikian, kinerja batu bara terlihat tidak separah yang diekspektasikan pasar komoditas energi. Wahyu pun menilai harga batu bara masih mampu bertahan di kisaran harga yang masih berada di level wajar.
Pada penutupan perdagangan Kamis (9/4/2020), harga batu bara kontrak April 2020 atau kontrak teraktif di bursa ICE parkir di level US$63,6 per ton, menguat 1,52 persen. Namun, level itu menjadi level terendah batu bara sejak Juni 2017.
“Harga masih di kisaran US$60 per ton yang merupakan harga perolehan tahunan sejak batu bara berhasil rebound dari keterpurukannya pada 2016. Harga batu bara saat ini masih sangat wajar, tidak parah,” ujar Wahyu kepada Bisnis.com, Kamis (9/4/2020).
Adapun, meluasnya penyebaran Covid-19 hingga ke banyak negara di luar China telah memicu aksi lockdown di beberapa negara, termasuk negara produsen batu bara besar seperti China dan Afrika Selatan. Akibatnya, produksi tertahan dan membatasi pasokan yang akan masuk ke pasar.
Tekanan pasokan tersebutlah yang dinilai berhasil mengimbangi prospek pelemahan permintaan seiring dengan proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi global akibat sentimen Covid-19.
Selain itu, importir batu bara utama seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan telah berhasil mengatasi wabah Covid-19 sehingga prospek permintaan diyakini tidak akan terhantam cukup keras dan akan membantu harga untuk bergerak lebih stabil.
Mengutip perkiraan Bank UBS Swiss, konsumsi batu bara China saat ini telah kembali sekitar 94 persen dari posisinya tahun lalu.
Sementara itu, menurut Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara China penggunaan batu bara oleh pembangkit listrik dari lima utilitas utama China mencapai 488.800 ton pada pekan terakhir Maret 2020, lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan level terendahnya pada 10 Februari.
Analis Huatai Futures Wang Miao mengatakan bahwa China telah membakar lebih banyak batu bara pasca pemerintah setempat menerapkan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran Covid-19. Aktivitas pembakaran tersebut menjadi sinyal lain bahwa negara pertama yang dilanda wabah Covid-19 akan segera kembali ke tingkat normal.
"Jika data pembakaran batu bara dapat bertahan di atas level saat ini dan terus meningkat, maka itu menunjukkan China mulai kembali normal dan membantu harga batu bara yang berada dalam tren pelemahan," ujar Wang Miao seperti dikutip dari Bloomberg, Minggu (12/4/2020).
Adapun, secara mingguan, Wahyu memproyeksi batu bara bergerak di kisaran US$63-US$70 per ton, sedangkan untuk jangka menengah harga batu bara bergerak di kisaran US$60-US$75 per ton.