Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mencermati Indeks BUMN20: Saham Perbankan Masih Menarik untuk Jangka Panjang

Saham-saham perbankan milik negara mencetak koreksi signifikan dalam periode tahun berjalan. Namun, dalam jangka panjang, imbal hasil saham bank-bank bumn amat menjanjikan.
GEDUNG KEMENTERIAN BUMN Bisnis/Himawan L Nugraha
GEDUNG KEMENTERIAN BUMN Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja indeks BUMN20 tampak menjanjikan pada beberapa hari pertama di awal April. Namun, sinyal penguatan mulai berbalik arah pada perdagangan kemarin.

Indeks BUMN 20 menguat hingga akhir kuartal I/2020 atau 31 Maret 2020. Penguatan berlanjut hingga Selasa (7/4/2020). 

Akan tetapi, pada kemarin, Rabu (8/4/2020), kinerja indeks tersebut harus terkoreksi 5,52 persen di tengah kinerja indeks saham gabungan (IHSG) yang melemah 3,18 persen.

Secara tahun berjalan, kinerja indeks BUMN20 anjlok 36,72 persen, lebih dalam ketimbang koreksi IHSG  sebesar 26,46 persen.Boleh dibilang, kinerja indeks BUMN20 underperformed terhadap IHSG.

Pada perdagangan hari ini, emiten bumn berkapitalisasi besar seperti BBNI dan BMRI masuk jajaran top losers. 

Kedua saham perbankan tersebut tersungkur masing-masing 6,96 persen dan 6,93 persen dari penutupan perdagangan pada hari sebelumnya. 

BBNI dan BMRI secara kumulatif memiliki bobot sekitar 42 persen terhadap indeks BUMN20.

Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio menyampaikan bahwa secara historis BUMN20 memang tak sebaik IHSG. 

Dia menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh adanya konstituen berkapitalisasi besar di luar IHSG yang naik lebih besar dibandingkan emiten BUMN.

“Sebut saja BBCA, dengan market cap sekitar Rp707 Triliun, sudah merepresentasikan 12,7 persen dari market cap IHSG, dan BBCA merupakan salah satu emiten swasta yang mengalami kenaikan yang sangat tinggi,” ujarnya kepada Bisnis.

Saham BBCA pada perdagangan hari ini ditutup melemah 0,35 persen ke level Rp28.175 per saham. 

Dalam periode tahun berjalan, emiten perbankan tersebut mengalami penurunan sebesar 15,77 persen, mengungguli kinerja IHSG maupun perbankan berpelat merah seperti BBNI, BBRI, dan BMRI.

Frankie mengatakan saham BUMN memang menjadi salah satu pilihan saham investor asing. Naik turunnya IHSG maupun indeks BUMN 20 cukup banyak dipengaruhi investor asing, khususnya yang berinvestasi jangka pendek atau berkarakteristik hot money.

Menurut Frankie, meski mencatatkan kinerja undeperformed selama 10 tahun, performa emiten BUMN di dalam indeks tersebut tidaklah buruk. 

BBRI, BMRI, dan BBNI misalnya, memiliki tingkat pertumbuhan majemuk laba selama yang lebih tinggi dibandingkan BBCA selama 10 tahun terakhir.

“Hanya saja memang BBCA diperdagangkan dengan kelipatan valuasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bank BUMN,” tambahnya.

Dia menyimpulkan bahwa emiten perbankan BUMN sejatinya memiliki potensi dan daya tawar menarik. Khususnya, bagi investor yang memiliki rencana investasi jangka panjang. 

Untuk investasi selama 3 tahun misalnya, saham BBNI bisa menghasilkan yield lebih dari 20 persen per tahun.

“Jika investor memiliki time frame jangka panjang, katakanlah 3 tahun, dan dalam 3 tahun itu perbankan sudah mencapai profitabilitas yang minimal sama dengan 2019, maka dengan harga saat ini, yield yang diterima oleh investor sangat menarik, bisa sampai di atas 20 persen per tahun,” jelasnya.

Meski begitu, dia mengatakan  dalam jangka pendek saham BUMN akan mengalami tekanan, khususnya perbankan BUMN. 

Pasalnya, industri ini mendapatkan beban cukup berat karena intervensi pemerintah yang mendorong pemberian keringanan dan restrukturisasi kredit kepada debitur terdampak Covid-19.

Dia mengatakan jikapun terjadi kontraksi pada tahun ini, bisnis perbankan tetap menjanjikan untuk jangka panjang. Pasalnya, perbankan dan fungsi intermediasinya merupakan mesin utama penggerak roda ekonomi.

“Maka untuk rekomendasi saham IDX 20 jangka panjang saya masih akan memilih emiten perbankan dan dalam jangka pendek, rekomendasi saya adalah TLKM karena posisinya sebagai market leader di sektor telekomunikasi ini dan saat ini demand untuk quota sedang tinggi,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rivki Maulana
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper