Bisnis.com, JAKARTA – Langkah emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merespons kondisi pasar modal dengan merencanakan aksi pembelian kembali atau buyback saham dinilai sebagai keputusan tepat.
Pengamat BUMN sekaligus Kepala Lembaga Manajemen FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto menuturkan bahwa langkah ini dapat mencegah terjadinya pengambilalihan paksa kontrol atau hostile take over oleh pihak lain di tengah valuasi emiten BUMN yang sedang terkoreksi cukup besar.
“Ada batas valuasi di mana buyback sebaiknya dilakukan BUMN untuk mencegah terjadinya hostile take over oleh pihak lain. Selain itu, buyback juga menjadi kesempatan baik untuk mengurangi saham beredar,” katanya kepada Bisnis.com, Selasa (10/3/2020).
Selain itu, menurutnya inisiasi buyback oleh BUMN juga akan berperan penting dalam menjaga likuiditas di pasar modal. Menurutnya, hal ini akan membantu menyeimbangkan pasar yang tertekan cukup dalam.
“Dalam situasi kepanikan pasar saat ini, saham-saham BUMN blue chips juga bisa ikut terseret tekanan jual. Apalagi, sebagian besar investor global keluar dari emerging market. Jadi, tindakan buyback saham saya kira cukup tepat,” jelasnya.
Namun demikian, dia mengatakan bahwa rencana buyback ini juga akan memberikan dampak negatif bagi emiten. Menurutnya, rencana ekspansi bisnis emiten akan sedikit terganggu akibat adanya pengalihan dana untuk membiayai program buyback.
Baca Juga
Sementara itu, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan bahwa buyback akan menunjukkan kepercayaan diri manajemen perusahaan pelat merah terhadap prospek kinerja di masa mendatang. Hal ini, lanjutnya, akan cukup efektif untuk meningkatkan optimisme para pelaku pasar modal.
“Hal ini dilakukan untuk meyakinkan pasar atau investor bahwa fundamental mereka bagus, penurunan saham mereka terlalu dalam dibandingkan perubahan yang terjadi pada fundamentalnya. Optimisme itu yang mau disampaikan oleh perusahaan yang mau buyback, termasuk BUMN kita,” jelasnya.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa langkah BUMN untuk buyback juga akan cukup efektif untuk menstabilkan pasar saham.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kapitalisasi emiten-emiten BUMN yang saat ini mencapai sekitar 25 persen total kapitalisasi pasar. Dia juga menilai kondisi ini yang membuat emiten BUMN paling cepat merespons kondisi pasar untuk melakukan buyback.
Alfred juga menjelaskan buyback tersebut tidak akan menjadi masalah bagi BUMN dengan posisi kas yang cukup kuat. Menurutnya, emiten pelat merah yang memiliki tingkat leverage utang rendah juga akan lebih mudah melakukan buyback.
“Artinya, jangan sampai mereka [emiten BUMN] buyback pakai dana pinjaman. Artinya, mereka buyback karena punya surplus kas dan tidak akan ada gangguan terhadap belanja operasional mereka ke depan,” tuturnya.
PROSPEK IDX BUMN 20
Alfred Nainggolan mengatakan kinerja saham-saham BUMN yang masuk ke dalam Indeks BUMN 20 memang tertekan lebih dalam dibandingkan indeks harga saham gabungan (IHSG). Hal ini, lanjutnya, disebabkan oleh banyaknya investor asing yang memiliki saham-saham BUMN.
Menurutnya, tekanan kondisi ekonomi global membuat investor cenderung melepas instrumen investasi mereka yang berisiko tinggi, termasuk saham. Dengan demikian, dia mengatakan bahwa aksi jual oleh investor asing berdampak lebih besar terhadap saham-saham BUMN.
Dia mengatakan dari 20 emiten penghuni indeks tersebut, saham-saham perbankan, infrastruktur, dan telekomunikasi masih memiliki prospek menarik. Beberapa saham yang direkomendasikan, di antaranya BMRI, TLKM, dan WIKA.
Sementara itu, untuk second liner atau lapis dua yang ada dalam indeks tersebut, Alfred merekomendasikan WTON. Menurutnya, saham anak usaha Wijaya Karya tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dua emiten anak usaha BUMN lainnya dalam indeks yang sama.
Adapun, saham yang menurutnya perlu dihindari adalah PGAS dan ELSA. Kedua saham dari sektor komoditas ini dinilai akan menghadapi tantangan berat dari penurunan harga minyak global.
Dia juga tidak menyarankan saham JSMR karena berisiko mendapatkan penugasan atau intervensi dari pemerintah yang tidak menguntungkan.
Menurutnya, kinerja Indeks BUMN 20 akan terbantu oleh sentimen rencana buyback. Meski begitu, dampak dari hal ini dinilai hanya akan bersifat jangka pendek.
“Kalau buyback itu secara historis itu short term, kebanyakan efek hanya di awalnya, ketika diumumkan misalnya atau ketika disetujui, karena pasar melihat buyback juga bukan aksi korporasi menaikkan harga saham, tapi lebih ke stabilitas harga saham,” katanya.
SEKTOR PROSPEKTIF
Sementara itu, emiten BUMN di sektor perbankan, pertambangan, dan telekomunikasi dinilai paling menarik untuk dikoleksi.
Senior Vice President Research PT Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial, menjelaskan dari penghuni indeks ini, emiten pelat merah yang bergerak di lini bisnis perbankan, pertambangan, dan telekomunikasi, memiliki posisi neraca keuangan yang paling baik.
"Hal ini terlihat dari posisi kas kuat dan tingkat utang yang tidak terlalu tinggi," ujarnya.
Menurutnya, apabila emiten tersebut berencana melakukan buyback, hal itu akan menunjukkan kepercayaan diri manajemen dengan prospek bisnis mereka ke depan. Namun, dia mengingatkan bahwa proses buyback biasanya berlangsung selama beberapa bulan dalam batas harga tertentu.
Dia menambahkan, hanya saham BBRI, BMRI, dan BBNI, dari sektor perbankan pelat merah yang layak dikoleksi. Dari sektor pertambangan hanya saham PTBA yang layak dikoleksi, dan dari sektor lainnya adalah TLKM. Adapun, sektor konstruksi seperti WIKA, PTPP, dan ADHI, tidak cukup menarik.
“Hanya sektor bank, pertambangan, dan telekomunikasi yang menarik, simply karena faktor balance sheet tadi, kas melimpah dan utang managable. So, having said that, konstruksi tidak menarik,” ujarnya.
Dia mengatakan pergerakan indeks BUMN 20 ke depan akan sejalan dengan pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG). Dengan level resistant IHSG hanya sampai 5.350—5.450, lanjutnya, potensi upside saham BUMN 20 dalam jangka menengah hanya sekitar 2 persen—3 persen.
Menurutnya, potensi upside tersebut bukanlah poin paling penting saat ini. Dia mengatakan bahwa langkah yang lebih penting saat ini adalah hadirnya pemerintah dengan melakukan buyback untuk meningkatkan kepercayaan diri investor.
“Buyback lebih kepada faktor psikis, building confidence bahwa manajemen yakin prospek kinerja untuk beberapa tahun ke depan. Buyback dilakukan karena manajemen percaya koreksi harga saham tidak mencerminkan fundamental sesungguhnya, dan manajemen percaya bahwa perusahaaan undervalued,” jelasnya.